[caption id="attachment_359987" align="aligncenter" width="375" caption="Ilustrasi Kehamilan di Usia Senja_health.detik.com"][/caption]
Dengan kemajuan teknologi termasuk di bidang kesuburan reproduksi belakangan ini, memungkinkan seorang sahabat karib di usianya yang sudah lewat 60 tahun melahirkan seorang bayi sehat. Dari telpon seorang teman lain semalam, dijelaskan bahwa sesudah mendapat ijin dokter jaga, teman itu pagi ini akan membawa pulang bayinya ke rumah. Kami rekan2 sebaya dan sepermainannya sejak masa sekolah dulu bersetuju barengan bertandang menjenguk bayi baru dan ibunya.
Teman yang baru kembali menjadi ibu dengan riang mempersilakan kami semua duduk dan ngobrol2lah kami semua di serambi depan rumah sembari ber-angin2 menikmati udara dan cahaya senja. Burung2 riuh terdengar terbang pulang ke sarang.
“Boleh kami menengok bayimu?” Salah seorang dari kami tetamu bertanya.
“Belum. Tidak sekarang,” jawab si ibu baru.“Aku buatkan minum dulu yahsupaya lebih enak kita meneruskan ngobrolnya.”
Acara ngobrol2 berlanjut lagi dengan meriah dan asyik sampai tanpa terasa 30 menit terlewat. Matahari sudah berangkat tidur di balik cakrawala sana.
“Nah, sekarang boleh dong kami menengok bayimu,” ganti ANE yang nyeletuk.
Aneh saja teman yang ibu baru itu tetap menjawab, “Tidak. Belum sekarang.”
Beberapa menit lagi pun terlewat, saat yang lazim bagi keluarga pada umumnya mempersiapkan meja makannya, dan kami semua tidak ingin nyonya rumah menjadi repot, maka kembali ANE menggamit lagi si ibu baru.
“Hari sudah malam, sebelum pulang bolehkah kami sekarang melihat bayimu?”
Dan sungguh membuat heran, teman kami tetap menjawab sama, “Tidak. Belum sekarang.”
Rasa heran kami meningkat sementara kesabaran menurun sangat,sayalantas mendesakkan tanya agar semua menjadi jelas. Dan kami bisa pamit pulang. Apakah, jangan2 ini merupakan siasat untuk menolak secara halus maksud kami menemui bayinya...... Adakah sesuatu yang ingin disembunyikan dari kami para teman akrab si ibu baru ini? Bagaimana pun, seyogianya semuanya dibuat terang benderang, agar tidak ada fitnah dan salah paham.
“OK, kapan lantas kami bisa menjenguk bayimu?”
Dan jawaban si ibu baru terdengar sungguh sangat tidak logis. Menurut telinga kami. Itu semula, begini jawabnya.
“Kapan? Kita tunggu sampai DIA MENANGIS. Entah karena tiba saatnya untuk minum atau lantaran risih popoknya basah.”
“Menunggu dia menangis? Mengapa kita harus menunggu sampai dia menangis?” nyaris serempak kalimat tanya itu terucap.
Kalem saja dengan mimik wajah meminta pengertian, si ibu baru menjawab begini.
“Karena aku LUPA DI MANA MELETAKKAN DIA. Paham kalian sekarang?!!”
----- MESS -----
Selamat berpikir.
Tabik dan Salam EDUMORana.com
Jakarta, 20150409.
ttd & cap stempel resmi
Departemen Pemberitaan Maknawi
Inspirasi: ... aneka sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H