[caption id="" align="alignnone" width="380" caption="Pres. Bashar Al Assad berpidato 6 Januari 2013"][/caption]
beberapa kelompok militan oposisi melakukan kekerasan yang berlebihan, terutama kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda
Presiden Suriah Bashar Al Assad mengajukan solusi komprehensif atas konflik Suriah yang berkepanjangan. Dia berpendapat bahwa konflik Suriah tidak lagi bisa diselesaikan melalui solusi politik semata. Assad berpendapat bahwa solusi sosial dan keamanan juga harus ditegakkan. Melalui pidatonya pada hari Minggu (6/1/2013) Assad kembali menegaskan kekacauan Suriah dipicu oleh kelompok pemberontak yang menganut ideologi Al Qaeda. Keterlibatan negara lain juga dipandang ingin melemahkan Suriah. Assad berpendapat bahwa revolusi seharusnya bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Assad menuduh revolusi Suriah digerakkan oleh orang asing (Al Qaeda) yang membahayakan keselamatan seluruh negeri. Melalui pidatonya tersebut tampak jelas Assad mencoba menarik opini rakyatnya yang semula mendukung oposisi untuk berbalik mendukung rezim. Assad mencoba mengidentikkan perlawanan oposisi dengan tindak kekerasan. Sejak awal revolusi Maret 2011 rezim Assad selalu menggunakan kata “pemberontak”, “teroris” dan diksi kelompok berkonotasi kekerasan negatif lain untuk merujuk gerakan milisi reformis. Melalui sikap terbarunya ini, Assad mencoba merangkul rakyat Suriah yang tidak setuju dan jengah akan aksi kekerasan. Memang benar beberapa kelompok militan oposisi melakukan kekerasan yang berlebihan, terutama kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda seperti Front Al Nusra. Kehadiran mereka dalam tubuh kelompok oposisi menjadi duri dalam daging. Komunitas internasional dihadapkan pada dilema antara mengupayakan perdamaian (yang artinya Assad harus turun karena dipandang bertanggungjawab atas kekerasan di Suriah) dengan mendukung pasukan oposisi (yang beberapa di antaranya dengan kejam mengeksekusi tentara yang sudah menyerah). Hadirnya kelompok ekstremis yang dekat dengan Al Qaeda di pasukan oposisi menjadi amunisi bagi rezim Assad beserta pendukungnya untuk menghambat langkah penyelesaian konflik yang digagas komunitas internasional. Assad dapat menjadikan hadirnya kelompok “teroris” tersebut sebagai alasan untuk mempertahankan rezim. Karena jika rezimnya turun maka dia berdalih Suriah akan dikuasai oleh kelompok teroris. Sikap pemerintah Suriah yang ‘memamerkan’ kepemilikan senjata kimia dapat dianggap sebagai trik untuk menunjukkan betapa berbahayanya jika kelompok bersenjata menguasai Suriah kelak. Paling tidak pemerintahan Assad mencoba menunjukkan bahwa kondisi Suriah akan jauh lebih aman dan stabil di bawah pemerintahannya dibandingkan di bawah kekuasaan oposan bersenjata. Dalam kasus senjata kimia, pemerintahan negara akan relatif rasional dengan tidak menggunakannya agar tidak dikenai sanksi-intervensi internasional. Sementara aktor non-negara (milisi bersenjata) tidak terikat dengan ketentuan internasional. Sehingga dikhawatirkan mereka dapat menggunakan senjata kimia tersebut untuk tujuan terorisme. (lihat artikel MESI mengenai masa depan konflik Suriah terkait senjata kimia). Presiden Assad berusaha menjual isu keamanan ini untuk mempertahankan rezimnya. Karena dia tahu, jika dia kalah maka kehancuran menantinya. Meski demikian, solusi untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Suriah harus segera ditemukan dan diaplikasikan. Karena menurut laporan PBB dalam 21 bulan konflik Suriah sudah lebih dari 60.000 orang tewas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H