Mohon tunggu...
MESI-Middle East Studies Indonesia Fisipol UGM
MESI-Middle East Studies Indonesia Fisipol UGM Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

MESI (Middle East Studies Indonesia) adalah komunitas studi sekaligus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang fokus pada masalah Timur Tengah di Fisipol UGM. Kontak kami: e-mail: middleeastindonesia@gmail.com Facebook page: MESI - Middle East Studies Indonesia Twitter: @MESI_mideast BB: 31352dab

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Debu (yang) Tersisa dari Revolusi Libya

7 Januari 2013   13:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari artikel blog kami>>> klik di sini

For what can war, but endless war, still breed

-John Milton

Libya, negara ini pernah menjadi sorotan dunia internasional karena perang antara pendukung Khadaffi dan National Transitional Council (NTC). Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan langsung pihak asing dalam konflik itu, dan intervensi itu pada akhirnya juga menambah daya tarik Libya bagi media internasional. Namun kini, nampaknya Libya serasa tenggelam ke dasar samudera terdalam. Beritanya menghilang, digantikan Suriah yang sekarang memang memanas. Lalu apa kabar Libya? Apakah perdamaian sudah kembali pasca terbunuhnya Khaddafi? [caption id="" align="alignnone" width="605" caption="puing revolusi Libya"][/caption] Berita terakhir dari Libya, saat tulisan ini ditulis, di Tripoli, Benghazi dan kota-kota besar lain di Libya, protes berbalik ke arah milisi-milisi yang dahulu dianggap berjasa memerdekakan Libya dari cengkeraman diktator Muammar Khaddafi. Milisi-milisi revolusi yang dahulu dianggap sebagai pahlawan, kini banyak disalahkan karena keengganan mereka menyerahkan senjata dan bergabung dengan otoritas pusat Libya. Keengganan ini dianggap menjadi penyebab utama ketidakstabilan di Libya hingga saat ini. Salah satu yang paling terkenal mungkin adalah serangan milisi ke konsulat Amerika Serikat pada peringatan tradegi 11 September lalu. Serangan ini menewaskan 4 orang warga negara Amerika Serikat, termasuk Duta Besar Chris Stevens. Bahkan setelah dilaksanakannya pemilu pada Bulan Juli lalu, masih banyak kantong-kantong milisi yang masih bertahan menolak dengan pasukan bersenjata resmi Libya. Organisasi-organisasi ini juga disinyalir melakukan banyak pelanggaran HAM. Organisasi-organisasi sayap kanan di Libya melaporkan tindakan kekerasan, penangkapan tanpa alasan, serta penyiksaan terhadap tawanan yang dilakukan oleh milisi di Libya. Peter Bouckaert, Direktur Darurat dari Human Rights Centermenyatakan bahwa saat ini tantangan terbesar Libya adalah mengendalikan milisi-milisi di sana dan mengakhiri pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan. Terlepas dari kenyataan ini, proses state-building Libya dianggap relatif sukses. Dirk Vandewalle, seorang ahli Libya dari Darthmouth College menyatakan bahwa Libya menunjukkan tanda-tanda tren yang baik secara politis. Komunitas sipil Libya dianggap semakin melek politik, birokrasi pemerintahan semakin berkembang, dan pemimpin-pemimpin politik di Libya saat ini dianggap mampu mengikuti aturan yang berlaku serta terbuka terhadap dunia internasional. Walaupun begitu, Vandewalle juga menggaris-bawahi masalah adanya milisi-milisi yang bergerak di luar pemerintahan yang resmi, bahkan terkadang bertentangan. Selain itu, Libya juga belum memiliki institusi militer yang memadai. Menurut Vandewalle, butuh, setidaknya, 20 tahun untuk membentuk institusi militer yang matang dari nol. Hingga saat ini, pemerintah resmi Libya belum memiliki kekuatan militer resmi untuk menjaga keamanan di Libya. Memang telah dibangun badan keamanan yang berbasis tradisional (kesukuan dan warlordship) seperti Supreme Security Council dan Libyan Shield, namun dua lembaga ini dikritik karena sering bergerak di luar kontrol pemerintah. Ketidakstabilan Libya ditakutkan akan memudahkan pergerakan organisasi-organisasi ekstrimis Islam. Banyak pejabat tinggi Libya saat ini yang menjadi target pembunuhan yang disinyalir dilakukan oleh ekstrimis Islam yang dahulu menjadi tawanan Khaddafi dan bebas atau melarikan diri semasa perang revolusi. Para analis juga menyatakan bahwa Al-Qaeda dan organisasi-organisasi yang terkait dengannya semakin berpengaruh di Libya. Organisasi-organisasi milisi sendiri menyalahkan pemerintah pusat. Menurut mereka, pemerintah pusat mengabaikan kebutuhan veteran-veteran perang revolusi yang telah berjasa bagi kemerdekaan Libya dari Rezim Khaddafi. Salah seorang veteran perang yang diwawancara oleh Al Arabiya News, bernama Usamah Al Daliy, menyatakan bahwa pemerintah harus bisa membuktikan bahwa mereka cukup berharga untuk mendapatkan kesetiaan dari para milisi, jika pemerintah yang sekarang tidak berhasil membuktikan itu, akan muncul revolusi baru yang akan mengulang kembali sejarah yang sama. Nampaknya, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, masalah milisi dan kepemilikan senjata akan menjadi salah satu pekerjaan rumah dari Pemerintah Libya yang baru. (hrk) [caption id="attachment_234231" align="aligncenter" width="300" caption="menuju blog MESI"]

1357567369745903543
1357567369745903543
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun