Perilaku koruptif adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sikap, tindakan, pola pikir, dan pengetahuan seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar maupun tidak sadar menjebakkan dirinya dalam membuat keputusan yang menghasilkan kegiatan korupsi.
Tindakan/kegiatan korupsi sesuai dengan UU Tipikor dikelompokkan ke dalam 7 tindak pidana korupsi (lihat artikel "Korupsi dan Disintegrasi Bangsa" serta "Korupsi dan Peperangan") hanya yang sudah disangkakan dan terbukti di pengadilan. Â Hal ini menjelaskan dilakukannya penindakan kepada pelaku baik perorangan maupun badan hukum berdasarkan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara.
Negara menilai tidak cukup hanya dengan penindakan terhadap pelaku korupsi yang diamanatkan oleh undang-undang, sehingga negara melalui pemerintah juga melakukan tindakan preventif yang juga telah diamanatkan di undang-undang dengan cara-cara yang bermacam-macam, seperti melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaranegara, menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi, menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidanakorupsi, melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum, serta melakukan  kerja  sama  bilateral  atau  multilateral  dalam  pemberantasan  tindak  pidana korupsi. Â
Ditambah lagi dengan dilakukannya pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara maupun lembaga pemerintah dengan tujuan agar setiap pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan protap yang telah dikeluarkan, serta pelaksanaan audit berkala terhadap seluruh kegiatan yang akan selesai maupun yang telah selesai dilaksanakan.
Pertanyaannya adalah, siapa yang menjamin kalau pengawas maupun auditor melakukan tugasnya dengan baik dan benar yang sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Â Dengan penerapan asas-asas umum tersebut, maka diharapkan dapatlah kiranya dilaksanakan 5 indikator seperti yang dikemukakan oleh Roberr Has dalam S.F. Marbun (2014 ; 85), yaitu :
- Terlaksananya hak asasi manusia
- Mayarakat turut berpartisipasi dalam mengambil keputusan politik
- Pelaksanaan hukum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat
- Pengembangan ekonomi pasar yang bertanggungjawab kepada masyarakat
- Orientasi politk pemerintah adalah untuk pembangunan, baik fisik maupun non fisik.
Pertanyaan tersebut akan menghasilkan pemikiran bahwa harus ada pengawasan terhadap pengawas karena sedemikian massive-nya tindak/kegiatan korupsi yang terjadi (silahkan dilihat artikel "Korupsi dan Disintegrasi Bangsa"). Â Jika demikian adanya, maka tindakan/kegiatan korupsi akan sangat susah untuk dikendalikan secara maksimal, karena akan selalu kejadian korupsi akan berulang, seperti sejarah manusia yang selalu berulang sejak orang pertama yang menghuni dunia ini. Â "Tidak ada hal baru di dunia ini, semuanya selalu terjadi secara berulang, hanya cara-cara kejadiannya saja yang semakin bervariasi".
Lalu bagaimana cara mengendalikan korupsi tersebut ? Cara yang harus dilakukan adalah dengan membenahi cara pandang dan cara berpikir masyarakat yang dimulai dari lingkungan keluarga (bagi orang-perorang yang tidak memiliki keluarga yang lengkap, maka pemerintah harus "mengadakan" keluarga tersebut dalam bentuk perwalian dan tindakan sosial).
Akar dari sikap koruptif adalah kurangnya pengetahuan dan pendidikan moral, yang mana pengetahuan dan pendidikan moral akan mengajarkan kepada manusia bagaimana bersyukur terhadap apa yang diperoleh dan dimiliki saat ini, dan bagaimana mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri tanpa merasa kita melakukan tindakan yang dianggap "bodoh" karena bertindak sok jadi pahlawan kesiangan.
Kedua hal tersebut sebenarnya telah ada di dalam hati terdalam semua manusia tanpa terkecuali, masalahnya adalah sekuat apa lingkungan keluarga mengasah hal itu sehingga menjadi hal utama yang ada di benak setiap orang, baik di dalam rumah maupun di dalam pergaulan sehari-hari (di dalam masyarakat dan di lingkungan kerja).
Tidak sedikit orang yang berkata-kata dengan lantang mengenai ke-Tuhan-an, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial, tetapi di sisi lain cukup banyak orang-orang yang menistakan kelima jargon tersebut. Â Mengapa demikian ? Apakah ada yang salah dengan falsafah hidup bermasyarakat dan bernegara ? Atau mungkin, kita antara sadar dan tidak sadar ternyata telah bersikap munafik ? Bahwasanya tindakan/kegiatan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga memiskinkan masyarakat dan berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, adalah diawali oleh sikap koruptif yang ternyata patut diduga sebagai sikap kemunafikan orang-perorang yang awalnya berasal lingkungan di rumah tangga.
Masih ingat tokoh agama di Papua yang bertransaksi senjata ? Masih ingat tokoh Papua (juga) yang memberikan data-data kepada ex. WNI yang saat ini berdomisili di Australia yang sering mengumandangkan tentang penindasan rakyat Papua ? Â Bagaimana putra asli Papua melakukan pembunuhan terhadap rakyat jelata dengan mengatasnamakan kebebasan ? Masih ingat seorang ibu rumah tangga yang memaki petugas pada saat bertugas melaksanakan perintah atasan guna menekan penyebaran Covid-19 ? Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian dari sikap-sikap tidak terpuji tersebut yang adalah merupakan sikap koruptif. -MIN-