Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dulu, Saya Pelanggan Setia Kedai Kopi Terbesar di Dunia Ini

29 April 2025   08:43 Diperbarui: 30 April 2025   12:48 27750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menunggu waktu shalat di Masjidil Haram pun dulu saya nongkrong di Starbucks,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

Dulu, saya adalah pelanggan setia Starbucks. Setiap kali bepergian, saya selalu mencari gerai Starbucks untuk singgah dan menunggu waktu boarding atau sekadar beristirahat. 

Di hampir semua bandara yang memiliki gerai Starbucks, saya memilih menunggu di sana, menikmati suasana santai dengan secangkir kopi di tangan.

Bahkan dalam perjalanan spiritual saya beberapa kali ke Tanah Suci, kebiasaan itu dulu tetap melekat. Di depan Masjidil Haram, Mekkah, terdapat sebuah gerai Starbucks yang menjadi tempat saya menunggu waktu shalat. Di sela-sela ibadah, saya duduk di sana, menyeruput kopi sambil mengagumi megahnya Masjidil Haram. 

Nama saya bahkan sudah terdaftar di sistem mereka; di mana pun saya memesan, barista bisa langsung memanggil nama saya. Seakan-akan, saya adalah bagian dari keluarga besar pelanggan setia Starbucks di seluruh dunia.

Namun, tahun 2016 menjadi titik balik. Saat itu, pernyataan kontroversial dari CEO Starbucks mencuat di berbagai media. Ia secara terbuka menyatakan bahwa siapa pun yang tidak mendukung nilai-nilai tertentu, khususnya terkait LGBTQ, tidak perlu lagi datang ke Starbucks.

Bagi saya, sebagai pribadi yang menghormati hak setiap orang namun tetap berpegang pada prinsip dan keyakinan yang saya anut, pernyataan itu seperti tamparan. Bukan tentang tidak menghormati perbedaan, tetapi tentang bagaimana sebuah merek besar memilih untuk membuat garis pemisah yang tegas dengan konsumennya atas dasar ideologi.

Sekarang saya pun tak pernah ke Starbucks lagi, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 
Sekarang saya pun tak pernah ke Starbucks lagi, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

Dengan berat hati, saya mengambil keputusan besar: berhenti menjadi pelanggan Starbucks.

Keputusan itu tidak mudah. Ada kenangan, ada kenyamanan, ada kebiasaan yang harus saya lepaskan. Tapi dalam dunia yang terus berubah ini, saya belajar bahwa konsumsi bukan sekadar soal rasa atau kenyamanan --- konsumsi adalah tentang nilai. 

Tentang pilihan sadar, tentang apa yang kita dukung dengan uang kita, tentang siapa yang kita percayai untuk menjadi bagian dari perjalanan hidup kita.

Sejak saat itu, saya mulai mencari alternatif. Saya menemukan banyak kedai kopi lokal yang menawarkan bukan hanya rasa yang tak kalah nikmat, tapi juga keramahan dan kehangatan komunitas. Ada cerita dalam setiap cangkirnya, ada semangat usaha kecil yang tulus, ada nilai-nilai lokal yang dijunjung.

Lebih dari itu, saya mulai menyadari satu hal penting: banyak merek besar dunia --- termasuk Starbucks --- sejatinya menggunakan biji kopi dari Indonesia. Kopi-kopi dari Sumatra, Jawa, Bali, Flores, hingga Toraja sudah sejak lama mewarnai kedai-kedai kopi dan hotel berbintang di berbagai penjuru dunia.

Indonesia bukan hanya penghasil kopi yang nikmat, tetapi juga pemilik warisan budaya kopi yang kaya. Lalu mengapa kita sendiri tidak lebih mencintai dan menghidupkan merek-merek kopi lokal kita?

Kini, saat menunggu di bandara, saya lebih memilih mencari kedai kopi lokal. Ketika bepergian ke berbagai daerah, saya senang menemukan warung kopi sederhana yang menawarkan keaslian rasa dan keramahan tanpa dibuat-buat. Di setiap seruputannya, saya merasa lebih dekat dengan akar budaya sendiri.

Dalam era keterbukaan informasi digital seperti sekarang, produsen harus lebih berhati-hati. Konsumen bukan lagi sekadar pembeli yang pasif. Mereka adalah individu yang memiliki nilai, prinsip, dan pilihan yang sadar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun