Di tengah pergolakan dan tantangan besar dalam dunia bisnis, Microsoft kini sedang berada di persimpangan jalan.
Perusahaan teknologi raksasa ini tidak hanya menghadapi isu pemutusan hubungan kerja (PHK) pada ribuan karyawan, tetapi juga tengah mengincar peluang besar untuk memperluas portofolio bisnis mereka dengan mengakuisisi salah satu aplikasi paling populer di dunia: TikTok.
Dua peristiwa besar ini---pemangkasan karyawan dan akuisisi TikTok---mungkin tampak tidak berhubungan, namun jika kita melihat lebih dalam, keduanya saling terkait dalam strategi besar yang sedang dibangun Microsoft untuk masa depan mereka.
Mengurangi Redundansi untuk Fokus Pada Hal Baru
Microsoft baru saja mengumumkan keputusan sulit: mereka akan memecat sekitar 1.900 karyawan di unit bisnis gamenya. Pemangkasan karyawan ini adalah dampak langsung dari akuisisi Microsoft terhadap Activision Blizzard, perusahaan pembuat game legendaris seperti Call of Duty dan Diablo.
Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk mengurangi redundansi dan memastikan tidak ada tumpang tindih posisi antara karyawan Microsoft dan Activision. Bagi Microsoft, ini adalah keputusan yang tidak bisa dihindari demi efisiensi dan penyederhanaan struktur organisasi.
Namun demikian, ini bukan sekadar soal pengurangan jumlah pegawai. CEO Microsoft Gaming, Phil Spencer, menegaskan bahwa pemangkasan karyawan ini adalah bagian dari rencana jangka panjang yang lebih besar.
Rencana ini melibatkan penyusunan ulang bisnis game Microsoft, setelah bergabungnya Activision Blizzard. Dengan langkah ini, mereka berharap bisa menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan dan mempersiapkan diri untuk peluang baru di pasar yang lebih luas.
TikTok: Peluang Besar di Tengah Krisis
Di sisi lain, Microsoft tengah mempertimbangkan langkah ambisius yang bisa mengubah arah bisnisnya. Mereka sedang dalam pembicaraan untuk membeli TikTok, aplikasi berbagi video yang sangat populer, terutama di kalangan generasi muda.
TikTok, yang berasal dari perusahaan China, ByteDance, telah menjadi fenomena global. Namun, aplikasi ini juga terjebak dalam masalah politik dan regulasi, terutama di Amerika Serikat. Pemerintah AS, dengan alasan masalah keamanan nasional, telah mengancam untuk melarang TikTok, yang dianggap bisa mencuri data pribadi pengguna Amerika.
Presiden AS, Donald Trump, sebelumnya sempat berusaha keras untuk melarang TikTok pada masa jabatan pertama. Namun, dalam kampanye presiden 2024, ia mengubah pendiriannya dan justru berjanji untuk "menyelamatkan" platform tersebut.
Tak lama setelah menjabat, Trump menangguhkan penegakan larangan terhadap TikTok selama 75 hari untuk mencari solusi alternatif. Salah satu solusi yang muncul adalah akuisisi oleh perusahaan AS, dan Microsoft muncul sebagai salah satu calon yang tertarik membeli TikTok.