Pulau Jawa, sebagai pusat ekonomi Indonesia, menyimpan paradoks yang mencolok. Meskipun menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional, Jawa juga menjadi rumah bagi lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 52,45 persen dari total penduduk miskin Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Pada September 2024, jumlahnya mencapai 12,62 juta orang.
Dengan demikian, tantangan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di kawasan ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Tantangan ini semakin kompleks dengan fakta bahwa Daerah Khusus Jakarta, sebagai episentrum ekonomi nasional, mencatat tingkat ketimpangan tertinggi dengan Gini Ratio sebesar 0,431.
Mengapa Pulau Jawa?
Pulau Jawa memiliki daya tarik tinggi sebagai pusat urbanisasi, industri, dan perdagangan. Namun, kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sekitar 56 persen dari total populasi nasional, menciptakan tekanan besar terhadap sumber daya dan layanan dasar. Hal ini menyebabkan ketimpangan ekonomi yang tajam.
Kemiskinan di Jawa tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga merata di wilayah perdesaan. Di perdesaan, penduduk miskin sering kali bergantung pada sektor pertanian yang rentan terhadap perubahan harga komoditas dan kondisi cuaca ekstrem. Sementara itu, di perkotaan, biaya hidup yang tinggi memperparah tekanan bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Ketimpangan sebagai Tantangan Utama
Ketimpangan menjadi masalah mendasar di Pulau Jawa. Meski kawasan ini menerima sebagian besar investasi dan pembangunan infrastruktur, manfaatnya belum terdistribusi secara merata. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menikmati pertumbuhan ekonomi pesat, tetapi wilayah marginal di sekitarnya sering kali terabaikan.
Fenomena ini menciptakan situasi di mana si kaya semakin kaya, sementara kelompok miskin kesulitan mengejar ketertinggalan. Kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi di daerah miskin memperburuk ketimpangan ini.
Kemiskinan di Pulau Jawa mencerminkan masalah yang lebih luas di Indonesia, di mana distribusi pembangunan dan akses terhadap peluang ekonomi masih belum merata.
Kemiskinan ini tidak hanya merupakan hasil dari ketidakseimbangan ekonomi, tetapi juga terhubung dengan persoalan struktural seperti kurangnya akses pendidikan, layanan kesehatan, serta pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah tertentu.
Untuk memutus rantai kemiskinan ini, diperlukan pendekatan yang multidimensional, sistematis, dan berorientasi jangka panjang.
Mengatasi Akar Kemiskinan Struktural