Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengurai Ironi Kelaparan dan Korupsi di Tengah Gelar Negara Paling Dermawan

2 Januari 2025   10:28 Diperbarui: 7 Januari 2025   05:10 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia. (KOMPAS/Mohammad Hilmi Faiq)

Indonesia sering dipuji sebagai negeri "gemah ripah loh jinawi," tempat segalanya melimpah ruah. Namun, di balik keindahan frasa itu, ada ironi yang menggelitik nurani.

Global Hunger Index (GHI) 2023 menempatkan Indonesia dengan skor 17,6, menunjukkan tingginya tingkat kelaparan di Asia Tenggara, hanya sedikit lebih baik dibanding Timor Leste. Sementara itu, World Giving Index (WGI) kembali menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama 7 kali berturut-turut.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI

Hampir semua orang Indonesia pernah menyumbang, baik berupa uang, tenaga, maupun waktu. Ironi ini memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin negeri dengan masyarakat yang begitu dermawan masih menghadapi persoalan kelaparan?

Pertanyaan itu semakin tajam ketika, menjelang akhir 2024 sebagai hadiah pahit menyambut malam tahun baru 2025, nama Presiden Joko Widodo muncul dalam daftar finalis "Person of the Year 2024" untuk kategori "Kejahatan Organisasi dan Korupsi" oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). (Baca kembali di Kompasiana)

Masalah korupsi dan kelaparan seperti dua sisi mata uang yang saling mengunci dan sulit terpisahkan.

Kelaparan di Negeri Subur

Kelaparan di Indonesia adalah paradoks yang menyakitkan. Dengan tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya tidak ada yang kekurangan pangan.

Namun kenyataan berbicara lain. Anak-anak tumbuh dengan stunting, keluarga hidup tanpa kepastian makanan, dan banyak daerah terpencil yang jauh dari jangkauan distribusi pangan. Masalah ini tidak hanya soal kekurangan makanan, tetapi juga ketimpangan ekonomi dan infrastruktur.

Di desa-desa, petani kerap mengeluh soal rendahnya harga hasil panen mereka. Sebaliknya, di kota-kota besar, harga pangan melambung tinggi karena biaya logistik yang mahal. Perubahan iklim juga memperburuk keadaan, membuat musim panen menjadi tidak menentu dan produktivitas menurun.

Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal

Solusi untuk masalah ini memerlukan perhatian serius, seperti pembangunan infrastruktur, subsidi untuk petani, dan kebijakan yang mendukung ketahanan pangan nasional.

Kedermawanan yang Belum Tersalurkan Optimal

Indonesia adalah bangsa yang murah hati. Budaya gotong royong dan solidaritas sudah mendarah daging. Kita sering melihat gerakan penggalangan dana untuk membantu korban bencana alam atau mendukung keluarga yang membutuhkan.

Namun, kedermawanan ini sering kali bersifat reaktif. Ketika bencana berlalu, solidaritas itu perlahan pudar. Di sisi lain, masalah seperti kelaparan, yang membutuhkan perhatian jangka panjang, tetap tak terselesaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun