Dalam beberapa tahun terakhir, perbankan digital telah berkembang pesat di Indonesia, membawa perubahan signifikan dalam cara orang bertransaksi dan mengelola keuangan.
Keberadaan bank digital semakin marak, terutama di kalangan generasi muda yang sudah terbiasa dengan teknologi dan lebih memilih layanan yang praktis serta serba digital. Bagi mereka, bank digital menjadi pilihan utama karena menawarkan kemudahan akses, biaya rendah, dan layanan yang cepat.
Di sisi lain, bank digital juga memberikan harapan baru bagi nasabah senior yang sebelumnya kesulitan dengan prosedur perbankan konvensional yang cenderung rumit dan memakan waktu. Dengan hadirnya layanan berbasis aplikasi yang ramah pengguna, banyak nasabah dari berbagai kalangan kini dapat menikmati kemudahan dalam mengatur keuangan mereka.
Bank digital yang baru bermunculan sejak 2021 telah membuktikan diri sebagai salah satu sektor yang dapat meraih pertumbuhan signifikan di tengah era digital ini. Tidak hanya menawarkan kenyamanan dan efisiensi, tetapi juga membuktikan bahwa mereka mampu menjadi pendorong utama transformasi industri perbankan nasional.
Meskipun demikian, bank digital di Indonesia, seperti halnya sektor lainnya, tetap menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama terkait dengan pengelolaan risiko dan rasio kecukupan modal (CAR).
Pertumbuhan Laba Signifikan pada Bank Digital
Sebagian besar bank digital di Indonesia melaporkan laba bersih yang sangat menggembirakan pada kuartal III-2024. Bank-bank seperti BCA Digital (blu), Bank Raya, dan Bank Jago berhasil mencatatkan pertumbuhan laba yang tinggi secara tahunan (yoy).
Sebagai contoh, BCA Digital (blu) mencatatkan laba sebesar Rp72,13 miliar, yang meningkat pesat hingga 532,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Bank Raya pun mengalami kenaikan laba sebesar 130,9%, sementara Bank Jago berhasil meraih laba Rp85,84 miliar, meningkat 70,67% dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain itu, SeaBank dan Amar Bank juga mencatatkan laba positif dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 31,97% dan 20,4%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berada di sektor yang relatif baru, bank-bank digital Indonesia mampu bersaing dengan bank konvensional dalam hal keberlanjutan dan kinerja finansial.
Namun, tidak semua bank digital mencatatkan kinerja yang positif. Allo Bank dan hibank mengalami penurunan dalam laba bersih, dengan penurunan masing-masing sebesar 10,69% dan 24%. Bahkan Aladin dan Superbank mencatatkan kerugian, meskipun Superbank menunjukkan sedikit perbaikan dengan penurunan kerugian yang lebih kecil, yaitu 12,17%.
Modal Inti dan Capital Adequacy Ratio (CAR)
Modal yang kuat sangat penting bagi bank digital dalam mendukung ekspansi dan penyaluran kredit. Pada kuartal III-2024, PT Bank Allo Indonesia Tbk (Allo Bank) tercatat memiliki modal inti terbesar, yakni mencapai Rp7,03 triliun, meningkat 4,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Modal yang besar ini memungkinkan Allo Bank untuk terus mengembangkan produk dan layanannya.
Namun, rasio kecukupan modal (CAR) untuk menanggung risiko kerugian di beberapa bank digital mengalami penurunan yang signifikan. Meskipun Superbank memimpin dengan CAR tertinggi di angka 135,24% per September 2024, angka ini mengalami penurunan yang tajam dari 242,38% pada tahun sebelumnya.
Penurunan ini mencerminkan adanya tantangan dalam mengelola risiko dan perubahan suku bunga yang mempengaruhi biaya operasional dan profitabilitas.