Penutupan 47 gerai KFC di Indonesia oleh PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST) menarik perhatian berbagai pihak. Perusahaan yang dimiliki oleh Keluarga Gelael dan Grup Salim ini mengalami kerugian bersih signifikan, mencapai Rp557,08 miliar hingga kuartal III 2024.
Keputusan untuk menutup gerai-gerai ini merupakan bagian dari langkah efisiensi guna menekan kerugian, namun dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, melainkan juga oleh ribuan karyawan serta sektor ekonomi secara luas.
Penutupan gerai yang berdampak pada lebih dari 2.000 karyawan ini memunculkan sejumlah pelajaran berharga bagi banyak pihak di bidang ekonomi, bisnis, hingga sosial. Melihat kasus yang terjadi pada KFC ini dari berbagai sudut pandang, kita bisa menarik sejumlah pembelajaran penting.
Kondisi Ekonomi yang Menekan Daya Beli Konsumen
Sejak awal 2024, daya beli masyarakat Indonesia cenderung menurun akibat tekanan ekonomi yang meluas. Dampaknya langsung terlihat pada sektor makanan dan minuman, termasuk bisnis makanan cepat saji.
Laporan keuangan FAST menunjukkan bahwa pendapatan dari penjualan makanan dan minuman turun drastis, dari Rp4,61 triliun pada kuartal III 2023 menjadi Rp3,58 triliun pada kuartal III 2024---penurunan sebesar 22,34%. Daya beli yang melemah juga memperlambat pemulihan bisnis setelah pandemi, menambah tantangan yang dihadapi oleh sektor ini.
Pelajaran untuk sektor bisnis: Dalam kondisi ekonomi yang sulit, perusahaan perlu mempertimbangkan strategi untuk menarik minat konsumen, misalnya dengan mengeluarkan menu hemat atau menawarkan promosi khusus.
Perusahaan juga dapat fokus pada pengembangan layanan digital untuk memperluas jangkauan konsumen yang lebih luas, terutama yang lebih berfokus pada efisiensi pengeluaran.
Pengaruh Geopolitik Terhadap Brand Internasional
Di luar tekanan ekonomi domestik, FAST juga menyebut bahwa konflik Timur Tengah turut memberikan dampak pada kinerja perusahaan. Manajemen KFC Indonesia menyatakan bahwa boikot konsumen terhadap brand-brand asal Amerika Serikat, sebagai dampak dari konflik tersebut, turut menggerus penjualan.
Dengan demikian, risiko geopolitik terbukti tidak hanya berdampak pada sektor keuangan atau komoditas, tetapi juga bisnis ritel dan makanan cepat saji yang berbasis pada waralaba internasional.
Pelajaran dari sisi global: Ketergantungan yang tinggi pada brand internasional memerlukan strategi mitigasi yang baik. Diversifikasi portofolio produk dengan menambahkan opsi lokal, misalnya, dapat membantu mengurangi ketergantungan pada merek-merek tertentu dan memberikan opsi lebih luas bagi konsumen yang lebih selektif dalam memilih produk.