Di tengah hiruk-pikuk media sosial, Teori Benang Merah (Red String Theory) kembali menarik perhatian banyak orang di Tiktok, Instagram, X, dan lainnya. Berasal dari cerita rakyat China dan menjadi populer di Jepang, teori ini menggambarkan ide bahwa setiap individu terhubung melalui seutas benang merah tak terlihat yang diikat oleh para dewa pada jari kelingking kita.
Benang merah ini menghubungkan kita dengan orang-orang yang ditakdirkan untuk kita temui, menandakan bahwa meskipun waktu, jarak, dan keadaan mungkin memisahkan, cinta sejati selalu akan menyatukan kembali.
Teori ini (Red String Theory) juga sudah diterbitkan menjadi buku oleh Headline Eternal pada 9 Januari 2024, yang ditulis oleh Lauren Kung Jessen. Buku ini menggali lebih dalam tentang konsep benang merah, memperkaya pemahaman kita tentang hubungan dan cinta dalam hidup kita.
Dalam psikologi, Teori Benang Merah adalah konsep simbolis yang menyiratkan adanya koneksi mendalam antara orang-orang yang ditakdirkan untuk hadir dalam hidup satu sama lain.
Benang merah ini sering diibaratkan sebagai ikatan emosional yang kuat, seperti antara orang tua dan anak atau hubungan dekat lainnya yang bertahan meskipun ada jarak atau perubahan hidup. Teori ini mencerminkan hubungan emosional yang berarti, di mana hubungan antar individu dianggap sebagai bagian penting dari pertumbuhan dan kebahagiaan manusia.
Bayangkan seorang bayi lahir dan seutas benang merah melilitnya dengan lembut. Saat anak itu tumbuh, benang itu terurai, menciptakan pola rumit yang menggambarkan perjalanan hidup unik setiap individu.
Jalannya mungkin tidak selalu mulus, tetapi pada akhirnya mengarah ke tempat yang ditakdirkan untuk kita. Dalam konteks ini, cinta bukan hanya tentang hubungan romantis; ia mencakup persahabatan, ikatan keluarga, dan cinta terhadap tempat atau ide.
Teori ini juga mengajak kita merenungkan betapa kita semua terhubung. Setiap pertemuan dalam hidup kita adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Ketika kita mengalami perpisahan atau kehilangan, benang merah ini mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian. Kenangan kita, meskipun terpisah, tetap terjalin dalam benang itu. Kita dapat merasakan sakit perpisahan, tetapi juga kekuatan dari cinta yang selalu ada, menunggu untuk ditemukan kembali.
Keterikatan ini melambangkan tantangan yang kita hadapi. Dalam perjalanan hidup, kita menghadapi berbagai rintangan---dari kematian dan penyakit hingga tragedi. Namun, kekuatan yang kita temukan dalam diri kita membuat kita mampu melewati masa-masa sulit itu.
Meskipun orang-orang mungkin datang dan pergi, cinta yang mengelilingi kita tetap terhubung. Setiap perpisahan memiliki tujuan, menciptakan pola dan tekstur baru dalam perjalanan hidup kita.
Dalam konteks hubungan, Teori Benang Merah juga mengingatkan kita bahwa cinta sejati tidak hanya hadir dalam bentuk romantis. Cinta dapat ditemukan dalam tawa bersama teman, kasih sayang keluarga, dan keindahan alam. Ia juga menekankan pentingnya empati dan ketidakegoisan, mengajak kita untuk melihat cinta sebagai sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan antara dua orang.
Ketika kita merayakan tahun baru atau fase baru dalam hidup, penting untuk menghargai cinta yang ada di sekitar kita---baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Menghadapi tantangan, kita dapat menemukan kekuatan dalam hubungan yang mengelilingi kita. Teori Benang Merah mengajarkan bahwa cinta bukanlah tujuan akhir, tetapi bagian integral dari perjalanan kita.