Haji Agus Salim pernah mengisahkan bahwa staf Natsir patungan untuk membelikan baju bagi Menteri Penerangan mereka. Kejadian ini terulang lagi saat Natsir memimpin Dewan Dakwah, menunjukkan konsistensi hidup sederhananya.
Episode mengontrak dan menumpang rumah berakhir ketika Pemerintah memberikan rumah di gang sempit di Jalan Jawa, Jakarta, sebagai 'rumah untuk Menteri Penerangan'. Puterinya, Sitti Muchliesah, menceritakan bahwa mereka mengisi rumah tersebut dengan perabot bekas. Meskipun sudah menjadi menteri, Natsir tetap hidup sederhana di gang sempit itu, sering menggunakan sepeda ontelnya untuk bepergian.
Pada tahun 1950, setelah melancarkan Mosi Integral, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri, jabatan tertinggi di Indonesia pada saat itu. Namun, menjadi orang nomor satu di Indonesia tidak membuatnya berubah menjadi glamor. Tidak ada mobil mewah atau gaya hidup berlebihan.
Rumahnya di Jalan Jawa dinilai tidak layak untuk seorang Perdana Menteri, sehingga ia pindah ke rumah dinas di Jalan Proklamasi, yang sebelumnya ditempati Soekarno. Meskipun tinggal di rumah dinas yang lebih layak, Natsir tetap tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Anak-anaknya tetap naik sepeda tua untuk sekolah, dan istrinya tetap menghidangkan makanan sendiri tanpa bantuan banyak pelayan. Hingga akhir hayatnya, Natsir tetap hidup sederhana. Kesederhanaan ini menjadi simbol integritas dan keteladanan bagi para pemimpin negeri dan rakyatnya.
Saat Menteri Keuangan tak punya uang, Menteri mengontrak rumah, Wakil Presiden tak mampu membeli sepatu, kesederhanaan dan pengabdian mereka di masa lampau walau berkuasa namun tanpa pamrih menjadi nilai utama yang sepantasnya diteladani di jaman sekarang.
Pelajaran Berharga dari Kehidupan Natsir
Kisah hidup Mohammad Natsir menunjukkan bahwa jabatan tinggi dan kekuasaan tidak harus disertai dengan kemewahan. Keputusan Natsir untuk mengalihkan dana taktis kepada koperasi karyawan mencerminkan komitmennya terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Integritasnya adalah pelajaran berharga bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi.
Natsir menunjukkan bahwa menjadi pemimpin tidak berarti harus hidup dalam kemewahan. Kesederhanaan dalam kehidupannya mengajarkan kita bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tidak diukur dari materi, tetapi dari pengabdian dan kontribusi nyata kepada masyarakat. Pengorbanan pribadi yang besar dalam pengabdiannya menunjukkan bahwa pelayanan publik sejati adalah memberikan yang terbaik bagi rakyat.
Kisah Natsir yang mengurusi masalah tikar dan bedug di Masjid Kramat Sentiong mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus peduli terhadap hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele. Natsir memahami bahwa masalah kecil bagi pemerintah bisa menjadi masalah besar bagi masyarakat. Kepedulian dan perhatian terhadap detail adalah kualitas penting dalam kepemimpinan.
Teladan Bagi Pemimpin Masa Kini