Perjalanan saya mengunjungi tiga situs bersejarah di Bengkulu ini bukan sekadar wisata biasa. Ini adalah napak tilas yang membawa saya menyusuri jejak perjuangan Bung Karno, salah satu Proklamator selain Bung Hatta, yang membidani lahirnya Indonesia.
Melalui tiga tempat ini, saya merasakan langsung semangat dan dedikasi beliau, serta memperkaya wawasan sejarah tentang masa-masa sulit yang dihadapinya.
Masjid Jamik Bengkulu: Mengagumi Karya Arsitektur Bung Karno
Langkah pertama dalam perjalanan ini membawa saya ke Masjid Jamik Bengkulu. Ketika saya memasuki halaman masjid, saya bisa langsung merasakan aura sejarah yang kental. Masjid ini berdiri kokoh dengan arsitektur yang sederhana namun elegan, menunjukkan kecerdasan dan rasa seni Bung Karno yang turut merancang bangunan ini selama masa pembuangannya.
Masjid Jamik Bengkulu didirikan pada tahun 1938, saat Bung Karno diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di masa itu, Bung Karno tidak hanya terlibat dalam aktivitas politik tetapi juga sosial.
Bung Karno merancang masjid ini dengan gaya arsitektur yang mencerminkan keindahan dan kekokohan, memadukan unsur tradisional dengan modern. Masjid ini menjadi bukti nyata bahwa meskipun dalam pengasingan, semangat Bung Karno untuk berkontribusi bagi masyarakat tidak pernah surut.
Masjid Jamik bukan hanya tempat ibadah bagi masyarakat Bengkulu, tetapi juga menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya. Di sini, saya bisa melihat bagaimana Bung Karno meninggalkan jejak abadi yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Melihat detail bangunan, saya membayangkan bagaimana beliau berusaha tetap produktif dan memberikan kontribusi nyata meski berada dalam pengasingan.
Rumah Kediaman Bung Karno: Menyusuri Kehidupan di Pengasingan
Perjalanan saya berlanjut ke Rumah Kediaman Bung Karno. Ketika memasuki rumah ini, saya disambut oleh berbagai foto dan barang-barang pribadi yang menceritakan kisah kehidupan Bung Karno selama di Bengkulu. Rumah yang sederhana ini menjadi saksi bisu perjuangan dan kegigihan beliau.
Rumah ini menjadi tempat tinggal Bung Karno dari tahun 1938 hingga 1942, selama masa pengasingannya di Bengkulu. Di rumah inilah, Bung Karno melanjutkan perjuangannya melalui tulisan-tulisan dan berbagai aktivitas organisasi, meskipun di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial.