Dalam sejarah Islam, kisah Bunda Hajar adalah salah satu cerita yang paling mengharukan dan menginspirasi tentang cinta, keikhlasan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah umat Muslim, tetapi juga memberikan pelajaran yang mendalam tentang kepasrahan, keteguhan hati, dan keyakinan mutlak atas cinta kepada Allah SWT.
Protes dan Pengabdian Bunda Hajar
Mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail, anaknya yang masih kecil, di padang pasir yang tandus tanpa siapapun dan apapun? Bunda Hajar hanya menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya, yang belum juga bisa memberinya putra.
Ketika Nabi Ibrahim AS meninggalkan mereka di tengah gurun, Hajar mengejar suaminya dan berteriak:
"Mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini, bagaimana kami bisa bertahan hidup?"
Ibrahim AS terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh membasahi pipinya. Perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran. Hajar masih terus mengejar sambil menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.
"Wahai suamiku, ayahanda Ismail, apakah ini perintah Tuhanmu?"
Kali ini Ibrahim AS, Sang Khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim AS. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti mendesah.
Pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semuanya terkesiap. Ibrahim AS membalik tegas, dan berkata:
"Iya, ini perintah Tuhanku!"
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semua malaikat, serta menggusarkan butir pasir dan angin:
"Jika ini perintah Tuhanmu, pergilah wahai suamiku. Tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir, Allah akan menjaga kami."
Ibrahim AS pun beranjak pergi. Dilema itu sirna sudah. Ini sebuah cinta dan pengabdian, atas nama perintah Allah, bukan pembiaran.