Kenangan saya tentang Pasar Seng di Makkah selalu terpatri dengan sajadah yang hingga hari ini masih saya gunakan untuk shalat. Saat menunaikan ibadah haji pada musim haji 1415 Hijriah (1995 M), saya sering bolak-balik ke Pasar Seng sepulang dari Masjidil Haram sebelum kembali ke pondokan kami di Aziziah.
Salah satu yang saya beli adalah sajadah yang telah menjadi sahabat setia saya selama 30 tahun dalam beribadah, mendekatkan diri ke hadirat Ilahi Rabbi.
Pasar Seng, yang terletak tidak jauh dari Masjidil Haram, menjadi saksi bisu dari banyak perjalanan spiritual, termasuk milik saya. Di pasar itulah para jamaah haji membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Sajadah yang saya beli di sana telah menjadi sahabat setia dalam ibadah sehari-hari, mengingatkan saya akan momen-momen istimewa ketika saya shalat subuh di pelataran Ka'bah.
Kisah tentang sajadah dari Pasar Seng yang masih saya gunakan hingga hari ini adalah kenangan yang sangat indah dan mengharukan. Sajadah tersebut bukan hanya barang fisik, tetapi juga simbol perjalanan spiritual dan kenangan saya selama menunaikan ibadah haji pada musim haji 1415 Hijriah.
Di bagian belakang sajadah, saya mencatat tanggal 22 Mei 1995 sebagai pengingat manis akan momen tersebut. Tulisan itu memperkuat ikatan emosional saya dengan sajadah ini. Menjaga dan merawat sajadah tersebut selama hampir tiga dekade adalah bukti dari dedikasi dan penghargaan saya terhadap kenangan spiritual yang sangat berharga.
Fakta bahwa sajadah ini tetap utuh tanpa ada kerusakan dan tulisan masih terbaca jelas adalah sesuatu yang luar biasa. Hal ini menunjukkan kualitas barang-barang yang dijual di Pasar Seng pada masa itu dan bagaimana sajadah tersebut telah menemani saya di berbagai tempat, menjadi bagian penting dari ritual ibadah saya.
Cerita ini mengingatkan kita akan pentingnya benda-benda yang memiliki nilai sentimental dan spiritual. Kenangan tersebut memberi kekuatan dan inspirasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semoga sajadah ini terus menemani saya dalam ibadah dan menjadi pengingat akan perjalanan suci saya di masa lalu.
Sajadah yang saya beli di Pasar Seng, saya gunakan untuk shalat subuh di pelataran Ka'bah setelah seluruh rukun haji terlaksana dan kami menunggu giliran keberangkatan ke Madinah sebelum pulang ke tanah air tercinta.
Untuk mengenang momen tersebut, saya menulis di bagian belakang sajadah dengan spidol: "Masjidil Haram (Pelataran Kaabah) Tgl. 22 Mei 1995 ---> Subuh". Tulisan itu masih menempel dan terbaca jelas hingga hari ini, meski sudah 30 tahun berlalu (1415-1445H).
Sajadah tersebut telah menjadi sahabat saya dalam setiap sujud dan doa, tidak hanya di rumah tetapi juga setiap kali tugas membawa saya berpindah-pindah kota. Setiap kali saya bersimpuh dan bersujud di atas sajadah itu, saya teringat akan momen-momen indah di Tanah Suci, ketika saya merasa begitu dekat dengan Allah.
Sajadah ini bukan hanya sekadar benda, tetapi juga pengingat akan perjalanan spiritual yang mendalam dan berkesan selama menunaikan ibadah haji.
Sayangnya, cerita tentang Pasar Seng kini hanya tinggal kenangan. Sejak 2008, Masjidil Haram mengalami perluasan, dan pemerintah Arab Saudi menggusur Pasar Seng serta sejumlah hotel dan bangunan lain di sekitarnya. Kebijakan ini, didasarkan pada Surat Keputusan (Qarar) Majelis Ulama Arab Saudi bernomor 227 tertanggal 22 Safar 1427 H (22 Maret 2006), yang membolehkan perluasan mas'a (tempat sa'i), bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan kenyamanan bagi para tamu Allah.
Meskipun Pasar Seng telah tergusur, kenangan tentangnya tetap hidup di hati saya dan banyak jamaah lainnya. Bagi saya, Pasar Seng bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga bagian dari pengalaman spiritual yang sangat berharga.
Sajadah yang saya beli di sana menjadi saksi bisu dari perjalanan suci yang mengubah hidup saya, membawa saya lebih dekat kepada Allah dan mengajarkan saya arti kesederhanaan dan ketulusan dalam beribadah.
Kisah ini mengingatkan kita akan kekuatan kenangan dan betapa benda-benda sederhana yang kita peroleh selama perjalanan spiritual dapat menjadi pengingat yang mendalam akan hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Semoga para jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci dapat menemukan kenangan dan pengalaman spiritual yang sama berharganya, yang akan terus menginspirasi dan memperkaya hidup mereka.
Dalam setiap hela napas dan setiap sujud di atas sajadah ini, saya merasakan kehadiran Allah yang begitu dekat, mengingatkan saya akan momen-momen indah ketika saya berada di pelataran Ka'bah, merasakan kedamaian dan kebesaran-Nya. Sajadah ini bukan hanya selembar kain untuk shalat, tetapi juga simbol perjalanan suci yang penuh berkah, yang telah menemani saya selama 30 tahun.
Meskipun Pasar Seng kini hanya tinggal kenangan, kenangan tentangnya akan selalu hidup dalam hati saya dan banyak jamaah lainnya. Setiap benang pada sajadah ini, setiap kali saya membentangkannya untuk shalat, mengingatkan saya akan pelajaran tentang kesederhanaan, ketulusan, dan kekuatan iman.
Kenangan spiritual ini memberi saya kekuatan dan inspirasi untuk terus menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur dan harapan.
Semoga kisah sajadah kenangan saya ini dapat menjadi inspirasi bagi siapa pun yang membaca, mengingatkan kita semua akan pentingnya menghargai setiap momen dalam perjalanan hidup kita, terutama dalam perjalanan spiritual kita menuju Allah.
Dan, semoga sajadah kenangan ini terus menjadi sahabat setia saya, mengingatkan saya akan perjalanan suci yang mengubah hidup saya dan mendekatkan saya kepada Ilahi Rabbi.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H