Tepat setahun lalu, 15 Maret 2022, Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) mengadopsi resolusi yang disponsori oleh 60 Negara Anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Anti Islamophobia (International Day to Combat Islamophobia).
Resolusi PBB tersebut menekankan bahwa terorisme dan ekstremisme kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau kelompok etnis apa pun. Resolusi PBB tersebut juga menyerukan dialog global tentang promosi budaya toleransi dan perdamaian, berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keragaman agama dan kepercayaan.
Peringatan Hari Internasional Anti Islamophobia tersebut belum terasa gaungnya di Indonesia sebagai negara terbesar yang mayoritasa penduduknya beragama Islam. Sangat sedikit media di Indonesia yang meliput, memberitakan, mengulas terkait hari peringatan internasional itu. Kakek Merza pun baru "ngeh" ketika membuka twitter dan membaca twit dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang menyampaikan Hari Internasional Anti Islamophobia pertama sebagai seruan untuk bertindak membasmi racun kebencian anti-Muslim.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada tahun 2021 menyampaikan bahwa kefanatikan anti-Muslim adalah bagian dari tren yang lebih besar dari kebangkitan etno-nasionalisme, neo-Nazisme, stigma, dan ujaran kebencian yang menargetkan populasi rentan termasuk Muslim, Yahudi, beberapa komunitas Kristen minoritas, serta lainnya. Antonio Guterres menambahkan, "Seperti yang diingatkan Al-Qur'an kepada kita: bangsa dan suku diciptakan untuk saling mengenal. Keanekaragaman adalah kekayaan, bukan ancaman."
Menurut situs PBB, Islamophobia adalah ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap umat Islam yang mengarah pada provokasi, permusuhan, dan intoleransi dengan cara mengancam, melecehkan, melecehkan, menghasut, dan mengintimidasi umat Islam dan non-Muslim, baik di dunia online maupun offline. Dimotivasi oleh permusuhan institusional, ideologis, politik dan agama yang melampaui rasisme struktural dan budaya yang menargetkan simbol dan penanda menjadi seorang Muslim.
Definisi tersebut menekankan hubungan antara Islamophobia tingkat institusional dan manifestasi dari sikap di atas, yang dipicu oleh visibilitas identitas Muslim yang dirasakan korban. Pendekatan definisi tersebut juga memaknai Islamophobia sebagai bentuk rasisme, di mana agama, tradisi, dan budaya Islam dipandang sebagai 'ancaman' terhadap nilai-nilai Barat.
Masih menurut situs PBB tersebut, umat Islam sering mengalami diskriminasi di negara-negara yang minoritas, baik dalam mengakses barang dan jasa, dalam mencari pekerjaan, dan dalam pendidikan. Bahkan, pada beberapa negara, mereka ditolak kewarganegaraan atau status imigrasi resmi karena persepsi xenophobia bahwa Muslim mewakili keamanan nasional dan ancaman terorisme. Wanita Muslim secara tidak proporsional menjadi sasaran dalam kejahatan rasial Islamophobia.
Berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah kejahatan rasial Islamophobia sering meningkat setelah peristiwa di luar kendali sebagian besar Muslim. Serangan teroris dan peringatan serangan semacam itu menjadi pemicu yang menggambarkan bagaimana Islamophobia dapat mengaitkan tanggung jawab kolektif kepada semua Muslim atas tindakan sangat segelintir orang atau dipicu oleh retorika yang menghasut.
Oleh karena Muslim di seluruh dunia terlalu sering menghadapi diskriminasi dan kebencian berdasarkan keyakinan agama mereka, maka tahun 2022 yang lalu, PBB mendeklarasikan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamophobia. Tanggal 15 Maret sekaligus menandai empat tahun sejak serangan teroris terhadap dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Dimana pada hari itu, seorang pria bersenjata dengan secara membabibuta membunuh 51 jemaah Muslim di dua masjid dan melukai 40 orang lainnya.