Setahun teakhir, seringkali kita mendengar atau membaca betapa banyaknya dilakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran.Â
Apalagi di bisnis berbasis teknologi, yang heboh dan menjadi incaran banyak fresh graduate beberapa tahun lalu, selama setahun ini banyak melakukan PHK kepada para pekerjanya.
Selama tahun 2022, 1.044 perusahaan teknologi melakukan PHK terhadap 159.786 pekerja. Dan, per awal Februari 2023 saja, sudah 321 perusahaan teknologi melakukan PHK kepada 97.996 pekerja. (Data: layoffs.fyi)
Apakah alasan mereka melakukan PHK? Apakah perusahaan mereka bangkrut?
CEO Alphabet (perusahaan induk Google), Sundar Pichai, pada saat memberhentikan 12.000 pekerja mereka, mengatakan para eksekutif memutuskan untuk memangkas pekerjaan setelah "peninjauan yang ketat" terhadap struktur dan organisasi internal Google.Â
Namun, di saat bersamaan Pichai mengatakan bahwa perusahaan mereka "merekrut untuk realitas ekonomi yang berbeda" dari yang dihadapinya. Dan, PHK yang dilakukan diperlukan untuk menyiapkan Google di masa depan. (Business Insider, 6 Februari 2023)
Kejadian seperti itu merajalela di sekitar Silicon Valley. CEO perusahaan seperti Amazon, Microsoft, Salesforce, dan Meta menetapkan perusahaan mereka pada jalur yang tidak berkelanjutan, berinvestasi dalam usaha baru dan menganggap ledakan teknologi yang didorong oleh pandemi akan menjadi era new normal.
Banyak pekerja teknologi kelas atas menanggung beban dari keputusan buruk tersebut. Sementara itu, eksekutif yang paling bertanggung jawab atas kekacauan menghadapi sedikit atau tanpa konsekuensi yang berarti.
Dalam berbagai pengumuman PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi teratas tersebut, mereka terlihat dan terdengar menyalahkan ketidakpastian ekonomi.Â
Misalnya, di Amazon, PHK itu diperlukan karena "kesulitan rantai pasokan, inflasi, dan produktivitas yang menggantung" dan ketidakpastian ekonomi.Â