Aku terlelap dalam tidurku, ketika terbangun sinar matahari sudah menyelinap ke dalam kamar. Wah, shalat subuhku terlewat. Kulihat Gustav sedang menelepon dengan handphone-nya. Handphone itu, Gustav bawa ke Singapore, tapi tidak pernah digunakan selama di sana. Saat itu jaringan seluler belum seperti sekarang yang bisa digunakan dimana saja. Pesawat telepon yang dibawa Gustav teregistrasi dengan Deutsche Telekom, jadi tak bisa digunakan di Asia, termasuk di Singapore.
Di Indonesia, malah telepon yang bisa digenggam satu tangan itu juga belum bisa digunakan, baru ada mobile telepon yang besarnya seperti memegang  batu bata. Dan sinyalnya sangat terbatas, di Jakarta saja masih banyak blank spot. Â
Kudengar, sepertinya Gustav sedang berbicara dengan seorang wanita, dan nada bicaranya cukup mesra. Tak lama Gustav menutup pembicaraan teleponnya.
"Pagi ini kita jalan-jalan di sekitar Frankfurt bersama Vera dan Karen," sapa Gustav kepadaku. "Karen...? Your girlfriend...???" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"No, Karen just my friend," terang Gustav. "Karen, nanti akan ke sini, dan kita akan berangkat bersama-sama setelah Karen datang. Sorenya kita antar Vera ke Train Station untuk kembali ke Heidelberg," lanjut Gustav.
Tiba-tiba terdengar suara Vera memanggil kami untuk sarapan. Pagi ini Vera memasak Chicken Mushroom Cream Soup dengan dilengkapi roti baguette. Melihat roti baguette yang keras dan panjang ini, aku jadi ingat Tante Nuniek, sepupu Ibuku. Tante Nuniek jika sedang ke rumah dan disuguhi Ibu soup dengan roti baguette, selalu mengomentari roti panjang dan kering serta keras itu sebagai stick softball.Â
Mungkin aku bisa bertanya banyak sama Tante Nuniek tentang Ibu yang sepertinya menyimpan rahasia tentang kehidupanku. Akan tetapi, di jaman itu, tidak mudah untuk berkomunikasi jarak jauh seperti jaman sekarang. Akhirnya aku hanya memendam perasaan untuk bisa mencocokkan cerita Ibu dengan sumber lain.
Cream soup buatan Vera mengobati rinduku dengan masakan Ibu di akhir pekan. Biasanya Ibu memasak di akhir pekan untuk  kami sarapan dan juga untuk makan siang dan malam jika kami tidak pergi keluar. Ibu sering juga memasak masakan Eropa karena pernah tinggal di Jerman lebih dari 8 tahun. Selain itu, Ibu juga pintar memasak masakan Jawa yang semuanya enak dan sedap.
Di tengah kami menikmati sarapan, terdengar bel berbunyi. Gustav segera berdiri dan membuka pintu. Terlihat sesosok wanita masuk ke dalam dan Gustav berpelukan dengan wanita itu dan berciuman mesra cukup lama. Aku terpana dibuatnya, karena di Indonesia, saat itu masih tabu melihat dua orang berciuman mesra seperti itu. Apalagi itu dilakukan di dalam rumah yang ada kehadiran orang lain di sana.
Seusai kemesraan mereka, wanita itu setengah berteriak menyapa Vera. Rupanya mereka sudah saling kenal. Dan kemudian, wanita itu menatapku, dan berseru, "It's real, he really is your twin Gustav," lalu dia menyapaku, "Hi, I'm Karen, nice to meet you Morgan". Aku masih terbengong-bengong, kata Morgan, Karen hanya teman, tapi hubungan mereka jika di Indonesia tidak dapat dikatakan teman lagi, bahkan sudah lebih dari seorang pacar.
Kami pun pergi jalan-jalan berempat ke beberapa tempat yang sering dikunjungi oleha para traveler yag singgah di Frankfurt. Gustav bergandengan dan sebentar-bentar berpelukan erat dengan Karen sepanjang perjalanan. Sementara aku berdua dengan Vera yang selalu memegang tanganku seakan tak ingin melepaskannya. "Aku senang bisa bersamamu, abangku, Morgan yang kami rindukan selama ini," kata-kata itu beberapa kali diucapkan berulang oleh Vera.