Semalaman Gustav banyak bercerita. Untuk menghormatiku, Gustav pun tak jadi minum bier dan mengantinya dengan soft drink yang tersedia di kulkas kamar hotel. Awalnya, aku ingin menyendiri di malam ini setelah menelepon Ibu. Tapi setelah mendengarkan cerita-cerita Gustav, aku malah seakan tersandera di kamarnya untuk pergi ke kamarku sendiri. Semakin aku mendengarkan ceritanya, hatiku terasa semakin terpaut kepadanya, hingga akhirnya aku pun tertidur di sofa kamarnya.
Ketika aku terbangun, aku tersadar tertidur di kamar Gustav dan malam ini shalat maghrib dan isya yang biasa aku jamak selama di Singapore terlewat sudah. Aku bergegas untuk segera beranjak ke kamarku. Kulihat Gustav tidur di ranjang. Melihat aku bangun dari sofa, Gustav ikut bangun dari ranjangnya, seraya berkata, "kamu tadi terlelap, dan aku tak mau mengganggumu. Terimakasih telah menemani malamku dan mendengarkan cerita-cerita tentang keluarga kita."
"Di Jerman sekarang masih sore, aku akan menelepon Ibu, dan kamu harus berbicara dengan Ibu. Ibu sangat rindu denganmu," Gustav terus saja bicara, tanpa menunggu responku.
"Gustav, bukankah menelepon dari hotel sangat mahal, dan kita harus bayar sendiri, tidak termasuk fasilitas kantor." Gustav seakan tak peduli terus saja menyambungkan telepon internasionalnya dari kamar hotel. Terdengar Gustav sudah berbicara dalam Bahasa Jerman, dan dia menyerahkan gagang teleponnya kepadaku.
Terdengar suara wanita berbicara dengan nada yang meluap-luap dalam Bahasa Jerman. Aku tak paham apa yang dikatakan di suara telepon itu. Untuk menghentikannya, ada perasaan tidak tega dan seperti ada suara kerinduan hatiku untuk terus mendengar suara wanita itu. Wanita itu berbicara sambil terisak-isak, entah mengapa air mataku turut membasahi pipiku.
Gustav melihat airmata mengalir di pipiku, langsung mendekapku dan satu tangannya mengusap-usap kepalaku. Lalu kuserahkan gagang telepon itu kepada Gustav. Dan Gustav melanjutkan pembicaraan dengan ibunya. Tak lama kemudian Gustav pun menutup telepon.
"Ibu sangat merindukanmu, dan dia ingin bertemu dan memelukmu, serta meminta maaf telah membiarkan kamu pergi bersama ayah," jelas Gustav setelah menutup telepon. Hatiku kembali galau. Apakah mungkin ada yang ditutupi Ibu tentang aku? Namun, di satu sisi hatiku, aku tetap yakin aku anak kandung Ibu Sundari Sunarko dan Ayah Jatmiko Rachman, bukan anak kembar dari orangtuanya Gustav.
Hari demi hari pun berlalu, aku disibukkan dengan training dan job training di Deutsche Bank Area Asia Pacific di Singapore bersama empat rekan dari negara lain yang ditunjuk Asian Development Bank untuk belajar tentang pengelolahan kredit rehabilitasi lingkungan yang akan diimplementasikan di masing-masing negara kami. Gustav adalah buddy kami yang dikirim Deutsche Bank Pusat untuk menemani kami memahami kredit rehabilitasi lingkungan.
Di luar jam kerja, saat istirahat, pulang dari kantor, Gustav seakan tak mau aku lepas dari dia barang sebentar. Apalagi kamar kami sekarang bersebelahan dan mempunyai connecting doors.
Jika sebentar saja, aku tidak terlihat, Gustav akan sibuk mencari dan memanggil-manggilku. Walau pun aku selalu berkata, bahwa aku sesungguhnya bukan saudara kembarnya yang nyata, tapi dia tetap bersikukuh bahwa aku adalah saudara kembar yang dicari bersama ibunya selama ini.