Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku
(Sebuah Cerita dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda)
Jam belum menunjukkan menunjukkan angka 8, seperti biasa aku masih membaca Kompas pagi sebelum pekerjaan dimulai. Telepon di meja ku berdering, aku berpikir siapa yang menelepon pagi-pagi begini. Ketika aku angkat gagang tetepon, belum sampai di telinga sudah terdengar suara direktur bidang, "Morgen, bisa ke ruang saya sekarang?". "Baik Pak Noval, segera saya ke ruang Bapak," jawabku dan segera bergegas ke ruangnya, sambil berkata kepada Siska, Service Assistance, yang setiap hari membantu pekerjaanku.
"Kamu segera bersiap berangkat ke Singapore. Bank kita ditunjuk menjadi bank pelaksana kerjasama kredit rehabilitasi lingkungan bersama Deutsche Bank. Karena kamu menangani segment kredit program, maka kamu yang ditunjuk untuk mengikuti pelatihan dan magang di Kantor Perwakilan Asia Pacific di Singapore yang dimulai Senin depan selama sebulan," Pak Noval tanpa jeda membrondongkan kata-katanya tanpa meminta persetujuan kepadaku sebagai manajer muda bawahannya.
Hari-hari menjelang akhir bulan adalah hari sibuk bagi sebuah Bank, apalagi yang bekerja terkait dengan kredit. Terbayang sibuknya beberapa hari ke depan untuk menjaga kolektibilitas kredit dan juga harus bersiap ikut pelatihan ke Singapore. Dan, sebagai manajer paling muda yang lulusan MDP (Manager Development Program), aku selalu menjadi sorotan para manajer yang lain. Sebuah tugas selain menjadi tantangan untuk sebuah kesempatan, juga akan menjadi tantangan dalam menghadapi segala pertanyaan miring bernada iri dari sesama manajer yang lebih senior.
Keluar dari ruang Pak Noval, aku langsung telepon Ibu di rumah sakit mau lapor bahwa aku akan ke Singapore. Tapi, telepon di ruangan Ibu diangkat oleh asisten Ibu yang mengatakan bahwa Ibu sedang ada di ruang operasi.
Ya, aku hanya berdua dengan Ibu sejak kecil. Saat berumur 5 tahun, Ayahku meninggal karena malaria saat sedang menangani wabah malaria yang menyerang sebagian daerah di Indonesia tahun 1970.
Hari-hari menjelang akhir bulan, adalah hari-hari pulang dini hari. Saat itu, computer belum semuanya otomatis dan tersambung online, sebagian besar masih manual, sehingga menjadi suatu hal yang lumrah di bagian kredit pada akhir bulan pulang dini hari. Ketika sampai di rumah, Ibu sudah tidur, dan pagi hari ketika bangun, Ibu pun sudah berangkat ke rumah sakit karena ada pasien yang mau operasi di pagi hari.
Oleh karena kesibukanku dan kesibukan Ibu di akhir bulan dan awal bulan yang luar biasa, akhirnya aku pun berangkat pada Sabtu, 3 Agustus 1991 ke Singapore tanpa bercerita banyak pada Ibu. Aku sengaja berangkat hari Sabtu agar hari minggu bisa istirahat sebelum mulai pelatihan dan magang di hari Senin.
Ketika aku sampai di resepsionis untuk melapor, petugas terlihat agak bingung menatapku. Aku pun jadi salah tingkah, apakah ada yang salah dalam penampilanku. Dia pun berkata, ""Do you have a twin brother?". Aku pun menjawab, "I don't have any siblings, I am the only child in my family."Â