Pada Kompasiana, tanggal 31 Agustus 2022, Kakek Merza seorang transisiator Baby Boomer-Gen X menulis artkel "Memaknai 'Quiet Quitting' pada Kalangan Pekerja Gen Z". Kemudian keesokan harinya muncullah beberapa millennium dan Gen Z menulis topik yang sama, dan diangkat semua menjadi Headline (Artikel Utama) oleh Admin Kompasiana. Selanjutnya banyak Kompasianer ikut membahas Quite Quitting dari berbagai sudut pandang, hingga hari ini diangkat menjadi Topil Kompasiana.
Gallup pada Juni 2022 telah melakukan survei secara acak pada 15.091 pekerja penuh dan paruh waktu berusia 18 tahun ke atas di Amerika Serikat. Dari survey tersebut, Gallup menemukan bahwa engagement pekerja mengalami langkah mundur selama kuartal kedua tahun 2022, dengan proporsi pekerja engaged (yang terlibat) tetap berada di 32%, tetapi proporsi yang non engaged (secara aktif tidak terlibat) meningkat menjadi 18%. Rasio pekerja engaged dan non engaded saat ini adalah 1,8 berbanding 1, terendah dalam hampir satu dekade.
Maraknya fenomena quiet quitting di sisi pekerja diikuti dengan tindakan quiet firing oleh perusahaan sebagai respons, yakni dengan mendiamkan insan perusahaan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi. Sebenarnya terjadinya dua fenomena quiet quitting di sisi pekerja dan quiet firing di sisi perusahaan sangat berhubungann dengan keterlibatan pekerja (employee engagement) dan kesejahteraan (wellbeing) dari perusahaan.
Penelitian Gallup menunjukkan bahwa keterlibatan (engagement) dan kesejahteraan adalah timbal balik. Keduanya saling memengaruhi keadaan di masa depan, masing-masing memberikan kontribusi unik namun saling melengkapi untuk pikiran, perasaan, perilaku, dan hasil kinerja insan perusahaan. Saat mereka bekerja bersama, mereka adalah pengisi daya super untuk tempat kerja yang berkembang dan produktif. Misalnya, ketika insan perusahaan terlibat dan berkembang di tempat kerja, kelelahan menurun dan produktivitas meningkat.
Namun, pada tahun 2020 sejak merebaknya pandemi Covid-19, keterlibatan (employee engagement) dan kesejahteraan insan perusahaan terputus satu sama lain dan berjalan sesuai keinginan mereka sendiri. Perbedaan ini menghadirkan implikasi penting bagi para pemimpin tempat kerja. Â
Akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, banyak insan yang mengalami penurunan kesejahteraan pribadi yang signifikan. Emosi negatif, seperti stres dan kekhawatiran, melonjak selama bulan-bulan awal pandemi dan terus-menerus menguras kekuatan emosional sehingga puncaknya menimbulkan kelelahan (burnout) yang kronis.
Kajian Gallup tentang evaluasi kehidupan orang Amerika mencapai level terendah sejak Resesi Hebat 2008 dengan hanya 46,5% individu yang mengevaluasi kehidupan mereka sebagai "berkembang" pada April 2020 atau terjadi penurunan 15% dari level pra-pandemi. Walau di Indonesia belum ada penelitian serupa, namun dapat ditangkap kondisi yang dirasakan para pekerja Indonesia tidak jauh berbeda.
Sumber-sumber umum dari penderitaan yang disebabkan pandemi mulai dari masalah kesehatan dan pekerjaan hingga keterputusan sosial, ketidakadilan sosial, ketegangan dalam pengasuhan anak, dan ketidakpastian tentang masa depan. Selain itu, stres dan kekhawatiran bahkan lebih buruk bagi pekerja jarak jauh daripada pekerja di lokasi di tengah COVID-19. Kekhawatiran besar bagi pekerja dan pemberi kerja mengingat 40% hingga 60% tenaga kerja telah bekerja dari jarak jauh sepanjang tahun 2020.