Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting vs Quiet Firing dan Employee Engagement vs Kesejahteraan

22 September 2022   17:38 Diperbarui: 22 September 2022   18:25 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Fenomena Quiet Quitting vs Quiet Firing di dunia kerja (Dok fimela.com dan dokumentasi pribadi, olahan by Merza Gamal)

Ancaman terhadap kesejahteraan perlu diawasi secara ketat karena pengaruhnya terhadap individu dan masyarakat. Sementara itu, keterlibatan pekerja telah menjadi semacam rakit kehidupan yang mencerminkan berbagai pengalaman di masa perjuangan melalui pandemi.

Sebelum masa pandemi Covid-19, keterlibatan (employee engagement) tidak dipengaruhi oleh kekuatan sosial atau ekonomi tingkat makro. Namun pada tahun 2020, berdasarkan kajian Gallup, "engagement" melonjak ke level tertinggi pada bulan Mei 2020, dan kemudian turun secara dramatis segera selama masa pandemi dan semakin turun dengan munculnya fenomena quiet quitting sebagai protes keadilan sosial akaibat turunnya tingkat kesejahteraan yang dapat disediakan perusahaan.

Akibat pandemi yang berkepanjangan disambut pula oleh inflasi tinggi dan kondisi potik global yang tidak stabil, membuat banyak pekerja telah mencapai atau mendekati titik puncak yang menyebabkan kelelahan dan penderitaan dengan konsekuensi jangka panjang.

Jika organisasi (perusahaan) gagal melibatkan insan pekerjanya dan tidak mampu menangkis stres dan kekhawatiran tingkat tinggi yang kronis, maka akibatnya dapat berdampak buruk bagi jutaan nyawa. Peningkatan kesejahteraan saat ini memiliki jalan panjang menuju pemulihan dan menghadapi tantangan baru terkait dengan transisi kembali bekerja di kantor. Oleh karena itu harus diciptakan keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan untuk mereduksi fenomena quiet quitting di sisi insan perusahaan dan quiet firing di sisi eksekutif perusahaan.

Image: Keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan (File by Merza Gamal)
Image: Keselarasan tujuan perusahaan dengan tujuan insan perusahaan (File by Merza Gamal)

Untuk itu, pengusaha (pihak pemberi kerja) dan manajer perlu secara proaktif mencegah dan mengelola kelelahan (burnout), sambil memanfaatkan fleksibilitas dan efisiensi yang dibutuhkan oleh pekerjaan jarak jauh, akan membangun tenaga kerja yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih produktif di masa depan. Apabila kondisi tersebut tidak ditangani, kelelahan pekerja berpotensi berdampak signifikan terhadap organisasi (perusahaan) dan kehidupan insan perusahaan mereka.

Dengan maraknya fenomena quiet quitting, seharusnya organisasi dan pemimpinnya dapat membantu insan perusahaan berkembang di tengah kondisi yang kurang kondusof saat ini. Berdasarkan temuan dalam kajiannya, Gallup merekomendasikan hal-hal berikut untuk menjauhkan diri dari kelelahan dan menuju tempat kerja yang siap menghadapi masa depan:

  • Mulailah mengukur kesejahteraan pekerja, selain mengukur tingkat engagement, sehingga dapat membantu eksekutif perusahaan menyoroti area yang menjadi perhatian yang dapat ditangani secara proaktif;
  • Melatih manajer untuk melakukan percakapan tentang kesejahteraan, di atas dan di luar engagement. Para manajer harus dapat melakukan percakapan yang sesuai dengan penuh perhatian tentang kehidupan di luar pekerjaan jika mereka ingin mengelola kinerja secara efektif;
  • Memanfaatkan keuntungan bekerja dari rumah yang dikelola dengan baik, karena seseorang akan menikmati fleksibilitas yang lebih besar dengan pekerjaan mereka yang bermanfaat bagi engagement.
  • Manajer memperhatikan keselarasan kesejahteraan insan perusahaan sambil mengembangkan jadwal kerja yang mendukung integrasi produktivitas dan kehidupan kerja;
  • Pertimbangkan dampak berbeda akibat pandemi terhadap insan perusahaan tertentu karena mereka membutuhkan budaya tempat kerja yang menerima dan mendukung semangat kerja;
  • Secara aktif memindai tanda-tanda potensi kelelahan. Sekedar hari libur kerja tidak cukup untuk memperbaiki situasi kita saat ini, dimana yang lebih dibutuhkan adalah dukungan manajerial dan hubungan sosial.

Manajer tidak dapat lagi bertindak sebagai bos, tetapi harus menjadi coach (pelatih) yang mampu melibatkan timnya dan tidak harus mendorong mereka menjadi terlalu bersemangat. Seorang manajer pada akhirnya bertanggung jawab untuk memastikan insan perusahaan memiliki ekspektasi yang realistis, dukungan, dan beban kerja yang dapat dikelola.

MERZA GAMAL 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun