Dalam sebuah pelajaran yang disampaikan McKinsey Institute melalui japri yang Kakek Merza ikuti  tentang dilema antara pendapat/suara terbanyak dengan kebijaksanaan.
Pelajaran yang disampaikan berkaitan dengan pengalaman seorang CFO (Chief Finance Officer) di sebuah perusahaan kimia besar memiliki perasaan deja vu.Â
Dejavu adalah perasaan bahwa apa yang dialami sekarang, pernah terjadi di masa lampau. Bahkan, terkadang bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kejadiannya adalah saat seorang CEO (Chief Executive Officer) dan dewan direksi membuat keributan tentang saat menyusun proposal peningkatan kapasitas di bagian selatan Amerika Serikat dan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk pembangunan dan desain modular dari dua pabrik baru yang lebih besar di wilayah itu.
Proposal yang sama sekali tidak terduga karena sebagian besar pesaing perusahaan mengikuti model pengembangan berkelanjutan yang sama, yang dapat mempermudah mengumpulkan uang dan mendapatkan dukungan untuk proyek konstruksi besar.Â
Mengejar proyek semacam itu, tidak diragukan lagi, dapat meningkatkan reputasi semua orang, terutama perusahaan yang dapat membanggakan fasilitas terbaru dan tercanggih.
CFO perusahaan tersebut tahu bahwa ada masalah keuangan yang terkait dengan mengikuti orang banyak. Jika sekelompok pabrik baru semuanya online pada saat yang sama, maka akan menciptakan kelebihan kapasitas, sehingga harga di seluruh industri bisa runtuh.Â
Lantas, bagaimana CFO dapat meyakinkan CEO, dewan direksi, dan lainnya untuk melihat secara berbeda baik peluang maupun biaya peluang dari pembangunan yang diusulkan ini?
Dalam kejadian tersebut, CFO harus berjuang melawan mentalitas kawanan, yang merupakan bias umum dalam dunia strategi perusahaan, keuangan, inovasi, dan investasi.Â
Kondisi yang sama, pertama kali diamati oleh jurnalis Charles Mackay dalam studinya tahun 1841 tentang psikologi kerumunan, "Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds" (Delusi Populer Luar Biasa dan Kegilaan Massa}, yang menandakan munculnya gelembung ekonomi (bubble gum economic).
Mentalitas kawanan (pendapat terbanyak) umumnya terjadi ketika informasi yang tersedia untuk kelompok dianggap lebih berguna daripada pengetahuan yang dimiliki secara pribadi, terlepas dari sumber atau kualitas informasi tersebut.Â
Seorang insan seringkali "membeli" kebijaksanaan kolektif, bahkan kadang-kadang mengabaikan bukti yang bertentangan, terutama ketika reputasi mereka dipertaruhkan.
Dalam kasus ini, apabila perusahaan kimia tersebut membangun pabrik pengolahan baru ketika semua pesaingnya melakukannya, dan strategi kemudian mengalami kegagalan.
Maka CEO perusahaan, dewan direksi, dan pemangku kepentingan lainnya tidak dapat disalahkan karena perusahaan lain melakukan kesalahan yang sama.Â
Akan tetapi jika perusahaan mengikuti pendekatan yang berbeda dari yang lain dan salah, strateginya dapat dikritik, dan para eksekutif dapat kehilangan pekerjaan mereka.
Dengan demikian, ada keamanan dalam kawanan. Akan tetapi apabila tidak ada seorang pun di tim eksekutif yang mengeksplorasi pandangan yang berlawanan, perusahaan mereka mungkin kehilangan peluang untuk membangun keunggulan kompetitif, meluncurkan model bisnis atau industri baru, atau memposisikan dirinya untuk kesuksesan jangka panjang.
Oleh karena itu, para pemimpin bisnis harus berani mengambil sikap bertentangan dan menggunakan pemikiran kawanan (pendapat terbanyak) untuk menguji informasi mereka sendiri sebelum membuat keputusan bisnis yang penting.Â
Memang sejatinya, sebuah perusahaan mungkin tidak pernah sepenuhnya membengkokan keinginan kawanan ke arahnya.
Para pemimpin bisnis dapat terlibat dalam latihan "penghancuran" dengan menggunakan tim merah dan tim biru, skenario, analisis lanjutan, dan permainan peran untuk mengidentifikasi bagaimana kelompok mungkin bereaksi terhadap keputusan dan untuk memastikan bahwa mereka dapat menyangkal persepsi publik dengan analisis terperinci.
Dalam kasus proposal pembangunan pabrik yang kita bahas ini, CFO dan CEO dapat memanfaatkan tim kepala operasi dalam unit bisnis yang relevan untuk meninjau data dan membangun kasus formal untuk dan menentang pembangunan pabrik baru.Â
CFO dan CEO akan mendorong tim tersebut untuk melihat implikasi strategis, operasi, dan keuangan jangka panjang dari konstruksi dan kemungkinan reaksi pesaing dan investor perusahaan.Â
Misalnya, seperti apa permintaan bahan kimia dalam dua dan lima tahun ke depan? Apa yang akan menjadi proyeksi arus kas dua dan lima tahun ke depan? Kapan proyek tersebut akan mencapai titik impas? Seberapa dalam harga bisa turun jika terjadi kelebihan kapasitas?
Latihan "penghancuran" akan menghasilkan bukti bahwa CFO perlu meredakan ketakutan CEO, dewan, dan orang lain tentang kemungkinan dianggap tidak mendengarkan suara terbanyak.Â
Hal ini juga akan mendorong pemangku kepentingan penting tersebut untuk mengakui secara eksplisit risiko reputasi dan risiko lain yang terkait dengan tidak mengikuti pendekatan standar industri terhadap pembangunan.Â
Selain itu, akan dapat memberi mereka landasan untuk mengejar jalur pertumbuhan yang berpotensi lebih efektif.
Melawan pendapat terbanyak bisa menjadi hal yang menakutkan dalam konteks apa pun. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan karier dan mempertaruhkan reputasi, sehigga bisa sangat melumpuhkan.Â
Akan tetapi untuk membuat perbedaan besar di dalam perusahaan dan industri, para pemimpin bisnis mungkin harus mengambil langkah berani, bahkan ketika orang banyak tidak setuju.
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H