Pernahkah Kompasianer terlalu khawatir tentang bagaimana bisa menjadi pegawai/karyawan terbaik, atau tentang berpikir keluar, tetapi ketika membuka kemampuan diri sendiri sehubungan dengan ketidakpastian, maka malahan tidak dapat dihentikan.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kita sebagai insan perlu membicarakan hal tersebut dengan orang lain. Hal tersebut adalah sesuatu yang dapat kita gunakan untuk membantu satu sama lain, apakah itu simpati atau menyemangati diri kita sendiri.
Sebagi seorang insan, kita menginginkan sebuah kemungkinan, transformasi, perubahan, dan inovasi, tetapi satu-satunya cara untuk mencapainya adalah melalui ketidakpastian. Jika kita menginginkan hal-hal tersebut, kita perlu menjadi lebih baik dalam menavigasi ketidakpastian sebagai pemimpin individu, sebagai tim, dan sebagai organisasi.
Sebuah organisasi perlu bertanya pada diri mereka sendiri, "Apakah kita memiliki kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian? Apa kemampuan ketidakpastian kita?"
Kemampuan terhadap ketidakpastian, seperti kemampuan sebuah jaringan otot yang dapat dibangun dalam sebuah organisasi.Â
Pesan utama yang harus ditangkap oleh seorang pemimpin adalah bahwa kita hidup di dunia dengan ketidakpastian yang semakin meningkat, sehingga kita perlu mengembangkan kemampuan untuk  menghadapi ketidakpastian  dalam diri kita sendiri dan dalam tim kita untuk mencapai kesejahteraan.
Ada ambiguitas dan paradoks di mana-mana. Bagi orang-orang yang menyukai rute linier ke depan, hidup semakin sulit di bidang apa pun.Â
Untuk itu pemimpin harus paham bahwa ada alat yang bisa kita gunakan untuk mengembangkan kemampuan ketidakpastian kita, dan itu harus kita perhatikan jika kita ingin makmur di era perubahan dan dinamisme ini.
Dalam bukunya "The Upside of Uncertainty: A Guide to Finding Possibility in the Unknown (Harvard Business School Press, July 2022), Nathan Furr, seorang profesor di INSEAD, dan istrinya Susannah Harmon Furr, seorang desainer, pengusaha, dan sejarawan seni, memberikan sebuah colokan bagi para manajer dan pemimpin untuk bersandar pada kebutuhan akan kebersihan emosional.