Beberapa hari ini, Kompasiana diramaikan oleh tulisan yang berkaitan dengan persiapan dana pension. Rata-rata tulisan yang Kakek Merza baca begitu optimisnya masa tua para Kompasianer dengan adanya dana pensiun berupa tabungan dan atau investasi.
Mungkin optimisme itu karena sebagian besar penulis belum merasakan kehidupan hari tua atau pun mengamati kehidupan orang-orang tua di sekitarnya.
Berdasarkan pengalaman yang Kakek Merza lihat dan ikut rasakan, adalah berlimpahnya dana pensiun ketika memasuki hari pensiun bukanlah jaminan hidup bahagia pada masa pensiun tersebut. Ada hal yang lebih penting dari sekedar persiapan finansial, yaitu siap mental menghadapi "post power syndrome" dan memelihara "rasa syukur" di setiap masa dan keadaan.
Betapa banyak yang Kakek Merza lihat dan temui, ketika beberapa kenalan Kakek Merza pada saat memasuki hari pensiun memiliki rekening deposito yang gemuk, rekening tabungan yang bertebaran, dan fix asset di mana-mana. Namun, beberapa tahun kemudian, terdengar kabar kenalan tersebut dalam keadaan sakit dan tidak punya biaya cukup untuk pengobatannya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Ya, itulah tadi akibat dari yang Kakek Merza katakan dengan "post power syndrome". Post power syndrome adalah kondisi kejiwaan yang umumnya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan, yang menimbulkan penurunan harga diri (self esteem) pada orang tersebut. Masalah mental yang umum pada lansia ini memiliki istilah lain, yakni retirement syndrome.
Ketika seseorang pensiun dari jabatannya, ada yang akan berkurang dari yang dia dapatkan selama ini. Seorang yang sebelum pensiun memiliki banyak bawahan atau banyak pengikutnya yang selalu memperhatikan kata-katanya dan mengikuti apa kemauannya, tiba-tiba pas hari pensiun semua itu menghilang seakan tanpa bekas. Sebagian banyak yang tidak siap menerima kenyataan itu dan bisa bersykur dengan keadaannya sekarang.
Bagi yang punya simpanan atau dana pensiun yang banyak, hal tersebut membuat mereka ingin kembali diakui dengan membuat bisnis baru. Namun, mereka lupa bahwa keberhasilan suatu bisnis bukanlah semata karena hanya punya modal uang atau asset saja. Mereka biasanya memulai bisnis dengan keinginan yang bisa  menghasikan pendapatan yang sama dengan gaji/penghasilan yang mereka dapatkan sebelum pensiun. Dengan demikian, tentu saja, modal yang dibutuhkan cukup besar sesuai dengan skala bisnis yang diinginkan.
Nah, kemudian mereka mencairkan dana deposito yang gemuk tadi sebagai modal awal bisnis baru mereka. Namun, sebuah bisnis bukanlah seperti menanam tauge yang dalam semalam sudah berkecambah. Akan tetapi, tentu saja membutuhkan waktu dan kerja keras untuk mencapai sukses di tengah pasar yang memang sudah bulish.
Oleh karena bisnis belum menghasilkan, bahkan masih saja membutuhkan modal tambahan, maka satu persatu asset pun dijual untuk bisnis yang sudah kadung berjalan tersebut. Belum lagi jika ada parasit-parasit atau para free reader yang ikut dalam bisnis tersebut dan selalu mengompori untuk tambah modal lagi agar usaha akan sukses.
Seiring berjalannya waktu, hasil dari bisnis belum juga sesuai dengan harapan serta asset yang dimiliki sudah melayang dan mencair satu per satu, maka penyakit pun mulai bermunculan. Sakit tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi bagi yang sudah terbiasa dilayani dengan pelayanan kesehatan VIP. Pelayanan dan obat-obatan generik yang diberikan oleh BPJS pun tidak mempan lagi karena berbeda dengan layanan VIP dan obat patent yang selama ini diterima.