Akibat pendekatan yang tidak sesuai, organisasi perusahaan membayar harga tinggi untuk kegagalan mengatasi faktor tempat kerja yang sangat berkorelasi dengan kelelahan, seperti perilaku beracun. Semakin banyak bukti yang menjelaskan bagaimana kelelahan dan korelasinya dapat menyebabkan biaya mahal bagi perusahaan dengan masalah pengunduran diri. Fenomena tingkat pergantian insan perusahaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat biaya ini lebih terlihat. Biaya tersembunyi bagi pemberi kerja juga termasuk ketidakhadiran, keterlibatan yang lebih rendah, dan penurunan produktivitas.
Temuan dari McKinsey Health Institute (MHI) baru-baru ini dalam survei global, menyoroti faktor tempat kerja yang sering diabaikan yang mendasari kesehatan mental dan kesejahteraan insan perusahaan dalam organisasi koporasi global. MHI menyimpulkan dengan mengumpulkan delapan pertanyaan untuk refleksi bersama dengan rekomendasi tentang bagaimana organisasi dapat mengatasi tantangan kesehatan mental dan kesejahteraan insan perusahaan dengan mengambil pendekatan sistemik yang berfokus pada perubahan penyebab daripada gejala hasil yang buruk. MHI menyarankan pemberi kerja dapat dan harus merespons melalui intervensi yang berfokus pada pencegahan daripada perbaikan karena tantangan kelelahan terjadi terus-menerus di seluruh dunia.
Untuk lebih memahami keterputusan antara upaya pemberi kerja dan meningkatnya tantangan kesehatan mental dan kesejahteraan insan perusahaan, MHI melakukan survei global terhadap hampir 15.000 insan perusahaan dan 1.000 pembuat keputusan SDM pada 15 negara.
Survei menilai dimensi tempat kerja termasuk perilaku tempat kerja yang beracun, kerja berkelanjutan, inklusivitas dan rasa memiliki, lingkungan pertumbuhan yang mendukung, kebebasan dari stigma, komitmen organisasi, akuntabilitas kepemimpinan, dan akses ke sumber daya. Dimensi tersebut dianalisis terhadap empat hasil terkait pekerjaan, yakni: niat untuk pergi, keterlibatan kerja, kepuasan kerja, dan advokasi organisasi, serta empat hasil kesehatan mental karyawan, yakni: gejala kecemasan, kelelahan, depresi, dan kesusahan. Selain itu, kemampuan beradaptasi individu juga dinilai.
Hasil survei menunjukkan adanya keterputusan terus-menerus antara cara insan perusahaan dan pemberi kerja memandang kesehatan mental dan kesejahteraan dalam organisasi. Kami melihat kesenjangan rata-rata 22 persen antara persepsi pemberi kerja dan karyawa Di samping itu terlihat pemberi kerja secara konsisten menilai dimensi tempat kerja yang terkait dengan kesehatan mental dan kesejahteraan lebih baik daripada insan perusahaan.
Rata-rata, satu dari empat insan perusahaan yang disurvei melaporkan mengalami gejala kelelahan. Angka tinggi ini diamati di seluruh dunia dan di antara berbagai demografi dan konsisten dengan tren global.
Jadi kesimpulannya adalah di balik tantangan burnout yang meluas di seluruh dunia, pengusaha mengabaikan peran tempat kerja dalam kelelahan dan kurang berinvestasi dalam solusi sistemik.
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H