Ketika para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 berkumpul di Bali tanggal 15-16 Juli 2022 yang lalu, mereka menghadapi prospek ekonomi global yang telah gelap secara signifikan.
Pertemuan ketiga Minister Finance and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Bali selama dua hari tersebut tidak menghasilkan komunike atau komitmen bersama. Hal yang sama juga terjadi pada pertemuan sebelumnya di Washington DC, Amerika Serikat pada 20 April 2022.
Pada pertemuan pada bulan April tersebut, IMF (International Monetary Fund) baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,6 persen untuk tahun 2022 dan berikutnya. IMF telah memperingatkan bahwa kondidi tersebut bisa menjadi lebih buruk mengingat potensi risiko penurunan. Sejak saat itu, beberapa dari risiko tersebut telah terwujud, dan berbagai krisis yang dihadapi dunia semakin meningkat.
Tragedi kemanusiaan perang di Ukraina telah memburuk. Demikian pula, dampak ekonominya terutama melalui guncangan harga komoditas yang memperlambat pertumbuhan dan memperburuk krisis biaya hidup yang mempengaruhi ratusan juta orang, terutama orang miskin yang tidak mampu memberi makan keluarga mereka.
Inflasi lebih tinggi dari yang diharapkan dan telah meluas melampaui harga pangan dan energi. Hal tersebut telah mendorong bank sentral utama untuk mengumumkan pengetatan moneter lebih lanjut. Pengetatan itu diperlukan walau akan membebani masa pemulihan. Gangguan terkait pandemi yang berkelanjutan (terutama di China) dan kemacetan baru dalam rantai pasokan global telah menghambat aktivitas ekonomi.
Akibat kondisi tersebut, indikator terbaru menyiratkan kuartal kedua yang lemah. Dalam Pembaruan Outlook Ekonomi Dunia yang diterbitkan IMF bulan Juli 2022 memproyeksikan penurunan lebih lanjut ke pertumbuhan global untuk 2022 dan 2023.
Prospek perekonomian tetap sangat tidak pasti. Misalnya, gangguan lebih lanjut dalam pasokan gas alam ke Eropa dapat menjerumuskan banyak ekonomi ke dalam resesi dan memicu krisis energi global. Hal tersebut hanyalah salah satu faktor yang dapat memperburuk situasi yang sudah sulit. Kondisi tersebut akan menjadikan tahun 2022 yang sulit, dan mungkin 2023 yang lebih sulit, dengan peningkatan risiko resesi.
Oleh karena itu, saat ini dibutuhkan tindakan tegas dan kerja sama internasional yang kuat, yang dipimpin oleh G20. Inflasi yang terus-menerus tinggi dapat menenggelamkan pemulihan dan semakin merusak standar hidup, terutama bagi mereka yang rentan. Inflasi telah mencapai level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara, dengan inflasi utama dan inflasi inti terus meningkat.
Inflasi telah memicu siklus pengetatan moneter yang semakin sinkron: 75 bank sentral (sekitar tiga perempat dari bank sentral di dunia) telah menaikkan suku bunga sejak Juli 2021. Dan, rata-rata, mereka telah melakukannya 3,8 kali. Untuk negara berkembang dan sedang berkembang, di mana tingkat kebijakan dinaikkan lebih cepat, rata-rata total kenaikan tarif adalah 3 poin persentase, hampir dua kali lipat dari 1,7 poin persentase untuk negara maju.