Jika kita mendengar vonis kanker dari dokter atau tim kesehatan yang mendiagnosis kondisi kita atau keluarga dekat kita, rasanya seperti mendengar petir di siang bolong, dan rasanya kehidupan akan segera berakhir.
Memang kanker, adalah penyakit yang telah "membunuh" banyak nyawa manusia. Â WHO (World Health Organization) menyebutkan kanker sebagai salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Menurut laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari WHO, jumlah kematian akibat kanker di Indonesia mencapai 234.511 orang pada 2020. Sementara itu, kematian akibat kanker di dunia diperkirakan akan terus meningkat hingga lebih dari 13,1 juta pada 2030.
Secara medis, penyitas kanker memang seolah berlomba dengan waktu. Semakin cepat kanker ditemukan dan ditangani, kemungkinan untuk sembuh juga semakin besar. Jika didiagnosis pada stadium I, kemungkinan bertahan hidup untuk 5 tahun masih besar, yaitu sekitar 90%. Sementara pada stadium 2, kemungkinannya turun menjadi 70%. Semakin tinggi stadiumnya, semakin rendah kemungkinannya untuk sembuh. Pada kanker stadium 4, kemungkinan bertahan hidup sampai 5 tahun hanya 20%. Artinya, hanya 2 dari 10 pasien yang bisa bertahan hidup sampai 5 tahun.
Kanker yang sudah berada dalam stadium lanjut, hampir tidak dapat disembuhkan. Namun, kenyataannya seseorang baru diketahui mengidap kanker kebanyakan sudah pada stadium lanjut (stadium 3-4). Sehingga begitu mendengar vonis dokter bahwa kita atau saudara kita menderita kanker, maka seolah-olah hidup akan berakhir.
Kita pun seolah-olah menjadi lupa bahwa hidup-mati sepenuhnya adalah ketentuan dari Tuhan bukan dari dokter. Dokter hanya menyampaikan diagnosis yang dilakukannya sesuai dengan keahliannya.
Mendengar vonis dokter tentang kanker, apalagi ketahuannya baru di stadium 3 ke atas, maka semangat hidup pun menurun dan keluarga pun menjadi "ribut". Alih-alih menenangkan pasien, tetapi malah menambah beban dan kekhawatiran dari si pasien.
Seperti disampaikan di atas, bahwa meskipun sudah stadium 4, sebenarnya masih ada peluang untuk bertahan hidup 20%. Seharusnya keluarga pada saat menerima vonis tersebut, bisa menenangkan pasien bahwa masih ada kemungkinan hidup dengan segala ikhtiar yang bis a kita lakukan. Soal akhirnya kematian itu datang, bukankah semua orang hidupnya akan berakhir dengan kematian?
Saya sebagai suami pernah menghadapi hal demikian. Tahun 2014, istri saya ketika habis pijat merasakan koq ada seperti gumpalan di dalam payudaranya tetapi tidak ada rasa sakit. Dan selama ini, istri saya juga tidak pernah merasa perih, nyeri atau pun sakit di daerah tersebut. Kemudian karena penasaran, dikonsultasikan kepada kakaknya yang dokter. Oleh kakak, istri saya langsung disuruh periksa, khawatir ada sesuatu sebelum terlambat. Karena Kakak adalah dokter, maka langsung disarankan untuk mamografi di RSK Dharmais.
Hasil mamografi menunjuk sesuatu yang mencurigakan, dan langsung dirujuk ke dokter onkologi. Kemudian dilakukan serangkaian test dan pemeriksaan untuk memastikan ada apa sebenarnya benjolan tersebut. Setelah menjalani serangkaian test secara intensif, akhirnya diketahui bahwa istri saya terkena kanker payudara stadium 3D. Artinya satu level lagi sudah stadium 4. Artinya lagi bahwa istri saya sudah kena kanker parah dalam bahasa keseharian.
Mendengar itu tentu saja saya dan istri saya kaget, tidak menyangka terkena kanker stadium tinggi, padahal sebelumnya tidak ada keluhan apa-apa. Ketika kami menyampaikan hal itu kepada keluarga, bermacam tanggapan muncul. Ada yang menghibur, tapi tak sedikit yang malah menimbulkan tambahan keresahan.