Memberikan hadiah untuk guru saat pembagian rapor, sepertinya sudah menjadi salah satu ritual orangtua murid saat ini.
Memberikan hadiah sebenarnya adalah sebuah perbuatan mulia dalam menjalin silahturahim. Akan tetapi, menjadi sangat berbeda jika hadiah itu terkait dengan suatu maksud dalam pemberian hadiah tersebut.
Pemberian hadiah terkait dengan suatu tugas merupakan suatu perbuatan gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 31 tahun 1999 dan UU nomor 20 tahun 2001.
Demikian pula dalam ajaran agama juga terdapat larangan menerima hadiah terkait dengan tugasnya sebagaimana sebuah hadits yang berbunyi, "Barangsiapa yang kami tugaskan guna melaksanakan sebuah pekerjaan dan kami telah memberikannya upah, maka apa yang diambilnya dari selebihnya (bukan berasal dari upah) adalah ghulul (pengkhianatan)."(Shahih al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib 1:191)
Dengan demikian, bagi orangtua murid, sebenarnya memberikan hadiah kepada guru juga merupakan sebuah simalakama. Jika memberikan hadiah, artinya kita sebagai orangtua murid ikut menjerumuskan guru dalam perbuatan gratifikasi dan menerima risywah dalam ajaran agama (Islam). Sementara itu, jika kita tidak memberikan hadiah dikhawatirkan anak kita akan tidak diperhatikan oleh gurunya di sekolah, atau jika pun diperhatikan akan menjadi prioritas terakhir.
Sebagai orang tua yang punya anak pernah sekolah di sekolah negeri dan juga ada anak yang pernah di sekolah swasta, memang nuansanya agak berbeda. Pada sekolah negeri, saya selaku orangtua murid mau tidak mau ikut memberikan hadiah kepada gurunya karena semua orangtua murid memberikan hadiah kepada guru anaknya, mulai dari hadiah yang murah hingga yang mahal harganya.
Pernah saya minta istri saya usul kepada para ortu murid untuk memberikan hadiah secara kolektif saja, tanpa memberitahukan nilai uang dari masing-masing ortu, tetapi banyak yang menolak usul tersebut. Saya maklum, karena jika secara kolektif, guru tidak akan tahu siapa memberi apa kepada guru. Sehingga, rasanya, bahwa pemberian hadiah tersebut tanpa udang  di balik bakwan hanyalah rekaan belaka.
Jika memang pemberian hadiah itu hanya sebagai rasa terimakasih dan untuk menyambung tali silahturahim, tentu tidak akan seperti itu. Orang tua pasti mau untuk membeli hadiah secara iuran untuk diberikan kepada guru anak-anaknya.
Sementara itu untuk anak bungsu saya yang di sekolah swasta, ada larangan untuk orangtua memberikan hadiah kepada guru, dan guru dilarang dengan keras menerima hadiah dari orang tua murid. Jika ketahuan, maka akan ada sanksi tegas baik kepada guru maupun kepada murid.
Oleh karena itu sebagaimana yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, "Hadiah Kepada Guru, Kode Etik Profesi, dan Gratifikasi", sudah saatnya persatuan profesi guru menyatakan secara tegas dalam etika profesi mereka, bahwa dilarang menerima hadiah agar tidak menjadi risywah dan fitnah bagi guru yang menerimanya. Dengan demikian bagi orangtua pun tidak ada lagi keraguan seakan-akan memakan buah simalakama dalam masalah pemberian hadiah kepada para guru anaknya. Jika dimakan Bapak mati, jika tidak dimakan ibu yang mati...