Hari ini, tanggal 1 Juni, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila dan merupakan hari libur nasional.
Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional sejak tahun 2016 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016. Penetapan tersebut bertujuan agar pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen bangsa memperingati Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pemerintah menyerukan agar seluruh instansi Pemerintah, baik di pusat, daerah, maupun perwakilan Pemerintah di luar negeri, serta BUMN/BUMD untuk menyelenggarakan Upacara Bendera Memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.
Namun, apakah dengan mengikuti upacara saja, Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat melekat dan menjadi perilaku bangsa?
Dahulu, ketika saya SD, di awal 70'an, kami mendapatkan mata pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) setiap jenjang kelas, dimana penekanan utamanya adalah penanaman ideologi Pancasila. Artinya setiap tahun kami mengulang-ulang materi yang berkaitan dengan Pancasila, sehingga Pancasila sudah menjadi hapalan luar kepala.
Saat SD, saya bersekolah di Perguruan Katolik Santa Maria. Walaupun di sekolah Katolik, tetapi tidak sedikit muridnya yang beragama Islam saat itu. Sekolah tersebut masih dipimpin oleh seorang Muder (sebutan Ibu untuk seorang biarawati) dan ada beberapa pastor dan suster  yang ikut mengajar di SD tersebut.
Mungkin karena pemahaman Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika yang kuat, maka saat itu tidak ada permasalahan dengan kami yang beragama Islam ataupun agama di luar Katolik dalam pergaulan sehari dengan guru dan murid, dan juga dalam menerima pelajaran. Semuanya berjalan lancar dan tidak ada gejolak.
Tamat dari SD Katolik Santa Maria tahun ajaran 1977, saya masuk SMP Negeri dan dilanjutkan ke SMA Negeri juga. Pada saat itu mata pelajaran PKN berganti menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Di sini, kami sudah mulai harus menghapalkan 36 Butir-Butir Pancasila. Di sekolah negeri, selain murid beragama Islam sebagai mayoritas, juga terdapat murid-murid dari agama lain. Dan, saat itu kami pun tak pernah ribut soal perbedaan agama, juga perbedaan ras dan suku. Saat itu pemahaman tentang SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) menjadi makanan sehari-hari di sekolah dan juga di berbagai kegiatan lainnya. Kerukunan itu kami rasakan, walaupun kami sudah tamat SD puluhan tahun.
Tamat SMA tahun ajaran 1983/1984, selanjutnya melangkah ke jenjang perguruan tinggi. Saat itu, perpeloncoan sebagai masa orientasi mahasiswa dihapuskan, dan kami harus mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama 100 jam. Ada juga perguruan tinggi yang menerapkan penataran  P4-45 jam. Beda penataran P4-100 jam dengan P-45 jam adalah, untuk yang 100 jam tidak perlu lagi mengikuti mata kuliah Pancasila yang berjumlah 2 SKS, sementara untuk yang 45 jam masih harus lulus ujian mata kuliah Pancasila.
Saat mahasiswa, kami bukan hanya hapal 36 Butir-butir Pancasila sepertisaat SMP dan SMA, tetapi harus memahami setiap butir Pancasila tersebut. Jika tidak hapal dan memahaminya, bisa-bisa akan menjadi penghambat saat akan bekerja atau berkarir setelah tamat kuliah.