Oleh karena itu, terciptalah peluang pasar untuk merancang penawaran yang aspiratif dan sesuai dengan aturan cultural dalam hal kemewahan, eksklusifitas, dan selebritas yang menampilkan kesan kemakmuran.
Namun perlu diiingat bahwa konsumsi status tidak hanya terdiri dari persaingan para elit ekonomi dalam mengejar kemewahan dan popularitas (atau dikenal sebagai modal ekonomi), tetapi juga persaingan para elite budaya dalam meraih cita rasa yang tinggi dan khas (disebut sebagai modal cultural).
Perubahan demografis akan turut mengubah konsumsi status kalangan menengah ke atas. Perjuangan untuk meraih modal cultural pada kalangan ini menjadi jauh lebih penting daripada beberapa generasi masyarakat menengah ke atas di era sebelumnya.
Aturan budaya baru menjadi minat bagi kalangan menengah ke atas sebagai sarana untuk menyampaikan kecanggihan cultural, termasuk kosmopolitanisme dan seni artistik. Aturan kecanggihan cultural ini dirintis oleh sub culture dan gerakan elite. Sub culture ini memberikan materi cultural baku untuk menghasilkan inovasi cultural yang menetes ke tingkat hirarki kelas cultural di bawahnya dengan cara yang sama dengan motivasi orang yang mendapatkan barang mewah berdasarkan model kelas social konvensional. Dinamika inovasi ini dikenal sebagai model tetesan cultural.
Pada kelompok modal ekonomi, peningkatan taraf hidup seseorang ditentukan dengan peningkatan strata social hingga mencapai tingkat "kehidupan yang mapan", yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumsi konvensional, seperti rumah besar yang bagus, mobil keluaran terbaru, alat elektronik tercanggih, dan barang-barang mewah lainnya.
Transformasi dinamika strata masyarakat terjadi dari orang yang hanya memikirkan kekayaan ekonomi menjadi masyarakat yang berpikir secara multidimensi untuk mendapatkan keunggulan cultural. Dalam transformasi ini terbentuk generasi strata social yang menghargai nilai-nilai cultural sama seperti menghargai materi. Namun status mereka lebih mendekati keunggulan cultural daripada generasi sebelumnya.
Generasi ini ingin meniru para elite cultural, di samping ingin menjadi orang kaya dan berkuasa. Mereka berjuang untuk menciptakan gaya hidup yang estetik, lebih canggih, dan lebih kreatif daripada generasi orangtua mereka. Fenomena demografis ini dikenal sebagai kelompok modal cultural.
Pengaruh dari munculnya kelompok modal cultural ini adalah berkembangnya pengusaha yang mampu menciptakan pertumbuhan bisnis yang pesat dan menawarkan ekspresi konsumsi yang modern. Beraneka macam produk, mulai dari hotel, otomotif, busana, makanan dan minuman, perabotan, hingga ke produk elektronik memanfaatkan peluang pemikiran ini.
Agar dapat memenuhi permintaan barang dan jasa yang sarat akan modal cultural, para pengusaha mengeksploitasi bahan baku yang dipasok oleh beberapa kelompok sub culture di tataran atas hirarki modal cultural dan mengestafetkan ke tingkat di bawahnya.
Model bisnis estafet modal cultural bekerja melalui inovasi cultural yang sangat cepat untuk asuk ke dalam pasar dengan cepat untuk memasarkan produk yang mengalahkan produk lainnya yang terkenal di kalangan masyarakat atas. Pembangunan model bisnis estafet modal cultural bukan hanya meniru kalangan kelas atas, tetapi juga harus mampu menciptakan inovasi modal cultural yang memerlukan penyesuaian dan pemahaman mendalam tentang pemikiran, mitos, dan aturan cultural sub culture elite, serta demokratisasi aturan yang dilakukan dengan cermat untuk menciptakan pengalaman yang terbaik dan terjangkau.
Sebuah perusahaan yang berhasil memasukan merk mereka ke dalam model bisnis estafet modal cultural harus mampu memahami kekuatan apa yang dapat dipertahankan sebagai pemimpin pasar. Untuk mempertahankan posisi terdepan, sebuah merk harus selalu melakukan inovasi cultural secara bertahap (dan rentan ditiru oleh pesaing) dengan menyesuaikan diri dengan aturan konsumerisme etis agar tidak terjadi perubahan yang mengancam pangsa pasarnya.