Menurut beberapa ulama dan ahli sejarah, zakat adalah suatu system jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia, yang selalu berhadapan dengan system riba. Hal ini berlangsung secara efektif & efisien, karena zakat langsung dikelola oleh pemerintah yang alim dan adil. Namun, kemudian terjadi pemisahan wilayah kekuasaan internal Islam antara penguasa dan ulama, maka lembaga "zakat" menjadi tidak seefektif sebelumnya. Sebagai institusi keagamaan, lembaga "zakat" kemudian dipegang oleh ulama saja, sehingga fungsi sebagai jaminan sosial menjadi tidak kentara, dan lama kelamaan berubah menjadi semacam aktivitas bantuan sementara (temporary action) yang hanya dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (temporary relief), yakni diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim-piatu, hadiah tahunan untuk guru agama atau da'i. Sehingga, saat ini, perlu rasanya mendiskusikan kembali doktrin zakat sebagai sub-sistem Ekonomi Islam dalam rangka mempertegas substansi zakat yang sangat terpaut dengan hajat hidup dunia akhirat.
Berdasarkan uraian singkat di atas, bahwa kewajiban zakat di dalam Al Quran seringkali dikaitkan dengan perintah sholat dan larangan riba, maka dapat kita simpulkan bahwa zakat dan sholat adalah dua ibadah utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sholat adalah ibadah utama hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah ibadah utama dalam hubungan sesama manusia tanpa lepas dari dimensi ke-Tuhan-an. Dan kaitan kewajiban zakat dengan larangan riba adalah zakat merupakan alat distribusi harta kekayaan antara si kaya dan si miskin, sedangkan riba adalah instrumen utama yang melahirkan konsentrasi kekayaan di sekelompok orang.
Neal Robinson, Guru Besar pada University of Leeds, menyatakan bahwa zakat mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan riba. Zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta, namun malahan akan merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan. Demikian pula, Umer Chapra berpendapat, bahwa zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi, sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.
Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan harta dan kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar. Di samping itu, apabila lembaga "zakat" dapat dijalankan sesuai dengan yang telah diatur dalam Al Quran yang bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dana zakat akan membantu kas negara untuk menciptakan lingkungan ekonomi umat atau kerakyatan yang memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang menggalakkan industri kecil dan mikro yang kemudian akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Penulis: MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H