Seiring berkembangnya era ekonomi baru setelah krisis 1998, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan.
Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki "pekerja tetap" dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi.Â
Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi "pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan".Â
Di samping itu menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat "besar kepala" seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi "biarkan satu pekerja anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah akan datang menggantikan".
Akan tetapi, bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, dari satu krisis ke krisis lainnya, maka tindakan di atas adalah merupakan sebuah tindakan melemahkan pembangunan loyalitas Sumber Daya Manusia.Â
Tindakan tersebut akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over.
Manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia.Â
Hal tersebut semakin disadari saat memasuki era digitalisasi dan krisis pandemic Covid-19. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi.
Namun demikian, banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan.Â
Kesetiaan usaha bersama, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk.