[caption id="attachment_357184" align="aligncenter" width="533" caption="Source: private picture."][/caption]
Setelah tahun 1990 muncul suatu era “Ekonomi Baru” yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi. Era ”Ekonomi Baru” telah membawa perubahan budaya dalam lapangan pekerjaan dibandingkan dengan era sebelumnya. Pada era ”Ekonomi Baru”, kebanyakan pekerja tidak lagi bekerja untuk satu majikan seumur hidupnya, tetapi berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.
Seiring dengan munculnya era ”Ekonomi Baru”, kebanyakan mahasiswa-mahasiswa terbaik memilih memasuki fakultas-fakultas yang berkaitan dengan bisnis dan teknologi informasi. Siswa-siswa unggulan tidak tertarik mengabdi pada sosial masyarakat, tetapi tertarik kepada pesona korporat dengan imbalan materi yang berlimpah. Bidang pekerjaan yang menarik adalah pekerjaan-pekerjaan yang mempertaruhkan uang yang berlimpah. Akan tetapi akibat lain yang harus diterima, adalah seorang yang ahli dalam satu teknologi langsung menjadi usang begitu teknologi tersebut dilampaui oleh teknologi lainnya. Akibatnya, pekerja pada usia 35 tahun sudah masuk “kotak” jika dia belum mendapat posisi manajemen senior pada perusahaan tempatnya bekerja.
Fenomena di atas dapat kita saksikan pada iklan-iklan lowongan pekerjaan saat ini. Lowongan untuk staff pemula bagi seorang lulusan perguruan tinggi (sarjana), dibatasi pada usia 25 tahun, dan lowongan manager dibatasi pada usia 35 tahun. Sehingga pekerja-pekerja yang mempunyai pendidikan tinggi standard namun belum mempunyai posisi yang “kuat” pada suatu perusahaan harus bersiap untuk masuk “kotak” atau malah kehilangan pekerjaannya karena terjadinya perampingan organisasi perusahaan jika tidakselalu “belajar seumur hidup”.
Di sisi lain, era “Ekonomi Baru”, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan.
Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan dianggap sebagai akan membuat “besar kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu pekerjai anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah menanti di meja manajer SDM anda”.
Kesetiaan usaha, baik kesetiaan dari pekerja kepada perusahaannya maupun dari perusahaan kepada pekerjanya, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk.
Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, tidak heran keresahan pekerja kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru. Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran karena akibat kemajuan teknologi, perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau. Saat ini, yang harus dimiliki oleh seorang pekerja adalah “kemampuan bekerja seumur hidup” serta “belajar seumur hidup”. Kedua hal tersebut yang dapat memungkinkan seorang pekerja dapat pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Kondisi pekerja pada era ”Ekonomi Baru”, saat ini, yang sangat mengandalkan teknologi komputer, mengingatkan kejadian yang sama pada abad 18-19 (El Fisgon, 2004), ketika para majikan memanfataatkan perubahan teknologi untuk mengurangi sebagian pekerja dan menurunkan gaji pekerja lainnya. Revolusi teknologi memungkinkan monopoli-monopoli besar menata ulang produksinya dan merestrukturisasi tenaga kerjanya pada skala global. Sebagai tambahan efisiensi, korporasi global dengan mudahnya merelokasi pabrik-pabrik mereka di mana saja yang upahnya paling murah. Hal ini membuat mereka mampu menekan upah pekerja sedunia dan merontokkan serikat-serikat pekerja serta meluncurkan aksi global baru yang berupaya menggugurkan segenap pencapaian gerakan buruh pada masa revolusi industri. Hak-hak buruh yang berusaha digugurkan pada era ekonomi baru ini antara lain adalah bekerja delapan jam sehari, upah minimum, dan tunjangan kesehatan, serta dana pensiun. Dengan demikian pemenuhan kesejahteraan pekerja malah menjauh akibat globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini.
Derasnya perubahan pada era ”Ekonomi Baru” membuat perusahaan jatuh bangun dan lapangan kerja terstrukturisasi dengan cepat. Dengan demikian, cara berpikir tentang bentuk-bentuk tradisional mengenai “kepastian kerja” berubah menjadi“kemampuan bekerja” yang harus dibarengi dengan “belajar seumur hidup” agar tidak cepat tersisih dan masuk kotak dalam dunia kerja.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H