Mohon tunggu...
Mery Novita siahaan
Mery Novita siahaan Mohon Tunggu... HKBP Theological Seminary

Ngerjain Hobi Sambil Bekerja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Cinta Karya "W.S Rendra" sebagai Citra Perempuan

19 Maret 2021   21:56 Diperbarui: 19 Maret 2021   23:04 2090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penyair dari kehidupan sehari-hari, 

Orang yang bermula dari kata kata yang bermula dari kehidupan, pikir dan rasa

Engkau adalah putri duyung tawananku

Putri duyung dengan suara merdu lembut bagai angin laut, mendesahlah bagiku! 

Wahai, Putri Duyung, aku menjaringmu aku melamarmu. (Rendra: 2010, 8).

Demikianlah kutipan atas surat cinta yang diungkapkan dan dituliskan oleh W.S Rendra. Di mana citra perempuan dalam puisi "Surat Cinta" didapati nuansa ambivalensi citra perempuan. Di satu pihak perempuan dicitrakan baik, di pihak lain perempuan dimarginalisasikan. Dalam puisi "Surat Cinta" yang penuh dengan gambaran perasaan laki-laki yang sedang jatuh cinta ini tokoh perempuan.

Narti, digambarkan sebagai seorang yang sangat cantik dan lemah lembut. Penyair memuji kekasihnya seorang yang cantik, bermata indah, dan bersuara merdu dengan mempergunakan metafora "putri duyung", Dan didapati pula citra negatif terhadap perempuan. Citra negatif tersebut berupa stereotip terhadap perempuan yang merupakan makhluk yang lemah dan penggoda (Sugihastuti:2010, 83).

Bahwa strotip perempuan adalah makhluk yang lemah dapat membuat perempuan memiliki kencendrungan untuk bergantung pada laki-laki dan laki-laki akan memiliki kekuasaan mengontrol perempuan dalam berbagai hal. Dalam puisi "Surat Cinta", laki-laki menganggap tokoh perempuan yang digambarkan sebagai putri duyung yang lemah dan tak berdaya ini berusaha merayu penyair dengan menggunakan daya tarik fisik yang dimilikinya, yaitu dengan mata indahnya. Selanjutnya, perempuan sebagai seosok putri duyung merendahkan eksistensi perempuan (Dorothy Dinnerstein:2010,204).

Menurut penulis, perempuan dalam puisi tersebut digambarkan sebagai putri duyung yang merupakan seorang tawanan yang sudah kehilangan kebebasan dalam bertindak, berpendapat, dan tidak memiliki hak lagi untuk menentukan hidupnya. Sebagai seorang hasil rampasan atau jarahan, perempuan pun dijadikan budak laki-laki. Oleh karena itu, dengan menganggap tokoh perempuan sebagai tawanan, penyair telah menempatkan kedudukan laki-laki superior dan perempuan inferior.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun