Kemarin, dalam perayaan Sumpah Pemuda, hampir setiap kampus menyatakan komitmennya dalam memerangi radikalisme. Deklarasi anti radikalisme, dalam beberapa bulan terakhir ini memang sering disuarakan oleh perguruan tinggi. Hal ini diklaim sebagai bentuk komitmen perguruan tinggi, dalam memerangi radikalisme yang mulai menyusup ke perguruan tinggi. Pertanyaannya, seberapa efektif deklarasi semacam ini? Efektifitas itu bisa terjawab jika selain deklarasi juga harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat, terhadap segala aktifitas di dalam kampus.
Pengawasan ini dimaksudkan sebagai bentuk pencegahan, namun tetap harus memberikan ruang bagi para mahasiswa dan mahasiswa untuk tetap berekspresi. Namun ruang ini ternyata banyak dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melakukan penyusupan. Organisasi intra kampus yang mendapatkan izin resmi, mulai disusupi oleh individu-individu yang terpapar radikalisme. HTI misalnya, setelah pemerintah menyatakan pembubaran, anggota organisasi ini mulai menyebar melakukan aktifitas dibawah tanah. Mereka melakukan diskusi dan perekrutan secara senyap, tapi tetap menyebarluaskan selebaran di dalam kampus.
Beberapa waktu lalu, salah satu kampus di wilayah Tangerang Selatan, kelompok HTI tertangkap sedang melakukan diskusi. Beruntung pihak rektorat berhasil mengetahui dan langsung membubarkannya. Di beberapa kampus lain, kelompok ini berusaya menduduki posisi penting di unit kegiatan mahasiswa (UKM). Hal ini penting agar proses penyusupan tidak terlihat oleh pihak kampus. Akibatnya, meski organisasi radikal telah dilarang, ideologi radikal tetap menyebar ke berbagai lini kampus. Jika dulu mungkin marak marxisme atau leninisme sebagai pisau analisa, hal itu jarang kita temukan. Karena pihak yang tidak sepaham dengan kelompoknya, dianggap sebagai kafir. Pada tahap tertentu, kafir itu harus diperangi, bisa dengan cara tindakan intoleran, persekusi, bahkan bom bunuh diri.
Suka tidak suka, penyebaran radikalisme masih terjadi. Meski tidak terlihat secara nyata, namun bisa dirasakan. Seorang yang awalnya toleran, tiba-tiba bisa berubah menjadi intoleran. Mahasiswa yang awalnya tidak mempersoalkan keberagaman, mendadak selalu mempersoalkan keberagaman itu. Sebagai mayoritas, muslim selalu diposisikan sebagai pihak yang tersudut akibat pemimpin yang tidak berpihak. Bentuk-bentuk semacam inilah yang disebut bibit radikalisme dan intoleransi. Bibit semacam ini akan terus menguat dan membesar, jika terus dipupuk. Untuk itulah, perguruan tinggi harus lebih jeli mengamati segala aktifitas di dalam kampus. Jangan sampai kelompok ini berhasil merebut unit kegiatan mahasiswa, yang menjadi aktifitas para mahasiswa di dalam kampus.
Deklarasi anti radikalisme, jangan hanya dilakukan sebatas perayaan saja. Mari kita gunakan momentum sumpah pemuda, untuk menyatukan semua perbedaan menjadi kekuatan. Karena Indonesia negara yang beragam, maka semestinya segala aktifitas di dalam kampus juga toleran. Semangat anti radikalisme harus ditanamkan semua pihak, sejak dari dalam pikiran. Harapannya, jika pikirannya sudah moderat dan toleran, maka outputnya juga akan toleran. Negeri sangat besar. Akan sangat rugi jika generasinya justru sering menebar kebencian. Akan sangat rugi, jika generasinya merasa benar sendiri dan suka mencari kesalahan pihak lain. Ingat, bibit radikalisme harus dilawan dan dihilangkan dari kampus. Karena jika bibit itu tidak ditangkal sejak dini, tidak menutup kemungkinan akan berkembang menjadi tindakan radikal dan teror.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H