Perang, pada akhirnya hanya akan membawa kedukaan bagi semua orang. Ibaratkan pepatah yang menyebutkan bahwa dalam perang, pemenang akan menjadi arang dan yang kalah akan menjadi abu. Masih ingatkah kita betapa banyak ratap dan derai air mata yang turun dibalik kedukaan perang. Berapa banyak korban jiwa saat ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki melululantahkan banyak jiwa yang tak tahu apa-apa.
Masih terbayangkankah betapa banyak keluaraga yang terpisah dari saudara-saudaranya saat perang korea pecah? Atau berapa banyak pejuang yang meninggalkan keluarganya hanya untuk merebut kemerdekaan di Indonesia? Lalu akankah umat manusia akan bebas dari penderitaan peperangan?
Fakta ironisnya justru saat ini kita tengah berkubang diantara gejolak peperangan. Afgaistan, Sudan, Suriah, semua deru senjata masih menderu dan mengaung diantara telinga kita, bahkan yang lebih mengerikan lagi kita yang tidak turut dalam kontak fisik peperangan justru semakin menarik diri dan menutup mata dari semua deru senjata itu.
Masih ingat si kecil lucu Alan Kurdi? Dapatkah kita membayangkan bagaimana ia begitu ketakutan saat ayah dan ibunya membawa ia untuk keluar dan mengungsi dari Suriah. Bisakah kita membayangkan bagaimana ia terus-menerus menangis di gendongan ibunya sepanjang perjalanan? Atau bisa jadi ia terpisah dari gendongan ibunya dan ia terombang-ambing di tengah laut lepas sambil menjerit dan menangis ketakutan sampai ia kelelahan dan terdampar di pantai TANPA NYAWA.
Bukankah peperngan amat sangat begitu mengerikan. Lalu mengapa kita masih saja berusaha untuk turut terlibat dalam peperangan. Keinginan buas kita sebagai manusia mendorong kita untuk menindas dan merampas hak hidup manusia lain. Apakah Alan Kurdi tak pantas hidup? Apakah remana 16 tahun Afganistan tak layak bermain bersama teman sebayanya, sehingga ia harus mengepalkan tangannya dan mengangkat senjatanya untuk membalaskan kebenciannya atas musuh yang selama ini ia benci?
Sampai kapan akar kebencian akan terus menjalar di dalam hati kita dan menjadikan hati kita yang berwarna putih menjadi hitam, sehitam langit malam tanpa bintang dan bulan. Saya selalu percaya, akan selalu ada kedamaian di dalam hati umat manusia bahkan ditengah-tengah gemuruh badai sekalipun.
Beberapa waktu lalu saya menyaksikan sebuah media menayangkan sekitar 400.000 warga indonesia bergabung dengan ISIS untuk menjadi martir di Suriah. Dan di media berita yang lain saya menyaksikan bahwa Rusia dan Iran berusaha menyerang markas logistik ISIS. Akankah ini semua akan berakhir? Masihkah ada Alan Kurdi lain yang menjerit menangis di tengah ombak?
Satu-satunya cara terbaik bagi kita untuk menciptakan kedamaian ialah menyingkirkan semua kedengkian, kebencian dan sakit hati di dalam hati kita. Sebuah kata “Maaf” yang tulus mampu menyembuhkan 1000 luka terberat sekalipun. Jangan biarkan kebencian menyelimuti hati kita, jangan biarkan diri kita menjadi pembunuh Alan Kurdi yang lain. Siapapun kamu, mulailah dengan kata MAAF yang tulus untuk memulai sebuah kedamaian, sebuah tempat indah bagi umat manusia untk bernaung di dunia. Salam Kedamaian Dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H