Baru-baru ini, RUU KUHP atau Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menjadi sorotan hangat, resmi disahkan pada hari Selasa, 6 Desember 2022 yang disahkan dalam rapat paripurna DPR RI. Namun, dibalik pengesahan RUU KUHP yang resmi menjadi Undang-undang mengundang banyak kontroversial di kalangan publik, terlebihnya masyarakat. Beberapa masyarakat bahkan melakukan aksi terkait penolakan RUU KUHP tersebut.Â
Bagaimana tidak? Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan dengan pengesahan RUU KUHP. Dimulai dari beberapa isi dari RUU KUHP yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, pembuatan dan seluruh isinya yang tersembunyi, dan yang paling sulit diterima adalah pengesahan RUU KUHP yang hanya dilakukan oleh beberapa wakil saja, bahkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan rencana pengesahan RUU KUHP terlalu dini dan terkesan tergesa-gesa. Padahal menurut Isnur masih ada beberapa pasal yang perlu dibahas lebih jauh karena berpotensi bermasalah di kemudian hari.Â
Kemudian dari pihak beberapa masyarakat yang memberikan komentarnya di sosial media terkait hal ini,Â
"Yang paling ga jelas pasal 603 sih. Ga ada satu pun alasan buat menurunkan hukuman koruptor. Koruptor ya dihukum seberatnya. Kalo hukumannya jadi 2 tahun ya jelas koruptor bakal ambil yang paling sedikit dampaknya", kata Nasywa Azim.
 Dengan beragam penolakan tersebut, itulah sebabnya masyarakat dan beberapa tokoh seperti Najwa shihab mengampanyekan tagar #SemuaBisaKena. Sedangkan Masyarakat maupun mahasiswa aktif menyuarakan pendapatnya melalui berbagai cara. Cara yang paling banyak dilakukan adalah dengan melakukan aksi demo demi suaranya didengar oleh para petinggi maupun pemegang kekuasaan di negara ini.
Berikut beberapa pasal yang kontroversial sehingga menyebabkan banyak penolakan di kalangan masyarakat pada pengesahan RUU KUHP.
- Hukuman minimal koruptor turun, Pasal 603
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI".
Padahal, hukuman bagi koruptor tadinya paling singkat penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp200 juta dalam UU No.20/2001.
- Penghinaan kepada pemerintah atau lembaga negara, Pasal 240 Ayat 1
"Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau dipidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta)".
Sedangkan bagi masyarakat awam, masih belum bisa membedakan mana kritik dan yang seperti apa menghina. LBH Jakarta juga menilai, "penghinaan" sulit dibedakan dengan kritik, sehingga sangat mungkin salah kaprah.
- Demonstrasi tidak boleh onar, Pasal 256
"Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta)".
Ini secara tidak langsung menentang ajaran dari pada demokrasi yaitu kebebasan berekspresi dan berpendapat
Dan, masih banyak lagi pasal-pasal yang menurut masyarakat kurang berkenan atau relevan dengan nilai-nilai demokrasi. RUU KUHP membuat masyarakat sulit dalam memberikan pendapat dan melakukan apapun, karena #SemuaBisaKena.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI