Waqaf (waqf) yangsecara bahasa berarti menahan, yakni menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah, masih banyak dikenal berupa waqaf benda tak bergerak, seperti, tanah, bangunan, sumur, dan sejenisnya. Adapun waqaf tunai merupakan istilah yang masih langka dan asing bagi sebagian besar orang.
Waqaf tunai merupakan dana atau uang yang dihimpun oleh institusi pengelola wakaf (nazhir) melalui penerbitan sertifikat wakaf tunai yang dibeli oleh masyarakat. Dalam pengertian lain wakaf tunai dapat juga diartikan mewakafkan harta berupa uang atau surat berharga yang dikelola oleh institusi perbankan atau lembaga keuangan syariah yang keuntungannya akan disedekahkan, tetapi modalnya tidak bisa dikurangi untuk sedekahnya, sedangkan dana wakaf yang terkumpul selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nazhir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Mengingat pentingnya peran sektor agrikultur dalam pembangunan Indonesia berdasarkan data dari Buletin PDB Sektor Pertanian Volume 12 Nomor 2, Juni 2013, serta program pemerintah (2015-2019) untuk swasembada pangan sebagai salah satu upaya mewujudkan kemandirian bangsa, maka waqaf tunai dapat dimanfaatkan untuk mendukung hal tersebut. Distribusi waqaf ke sektor agribisnis akan membantu fungsi permodalan (kredit lancar) dari Lembaga Keuangan Syariah kepada kaum petani, meski keduanya dalam prosedur yang berbeda dan terpisah.
Persoalan mengenai perwakafan di Indonesia dipegang oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebagaimana mandat UU No. 41 Tahun 2003 untuk mengelola perwakafan Indonesia dengan lebih profesional dan modern. BWI sebagai institusi khusus tersebut memiliki peran pokok mengoordinasi nazhir (pengelola harta wakaf), sehingga harta wakaf dapat dikembangkan dan dikelola secara produktif.
Mekanisme pengelolaan wakaf tunai produktif khusus sektor agrikultur ini menggunakan sistem kustodian. Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai institusi khusus yang menangani perwakafan di Indonesia menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) yang kemudian akan dititipkan pada Lembaga Keuangan Syariah-Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 23. Lima Lembaga Keuangan Syariah yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU adalah: a) PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Divisi Syariah, b) PT Bank Mu’amalat Indonesia Tbk, c) PT Bank DKI Jakarta, d) PT Bank Syariah Mandiri, dan e) PT Bank Mega Syariah Indonesia.
Wakif, sebagai orang yang mewakafkan dananya akan menyetorkannya pada LKS-PWU atas nama rekening BWI yang ada di LKS-PWU tersebut. Posisi LKS-PWU dalam hal ini hanya sebagai kustodi, sehingga tanggung jawab terhadap wakif terletak pada BWI. Saat datang ke
LKS-PWU, wakif atau yang mewakili diminta untuk mengutarakan kehendak wakif, menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan, menyerahkan secara tunai sejumlah uang yang akan diwakafkan, serta mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.
Dana yang telah terhimpun di LKS-PWU tersebut selanjutnya akan disalurkan pada nazhir sebagai modal untuk mengelola lahan pertaniannya. Nazhir di sini adalah para petani atau kelompok tani. Keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan disedekahkan pada yang berhak, sebagaimana yang dikehendaki wakif. Adapun nazhir tetap memeroleh maksimal 10% dari keuntungan tersebut.
Muhaimin Iqbal, Dinar Solution (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 22, ayat (4).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H