[caption id="attachment_187004" align="aligncenter" width="609" caption="Sumber : http://wongjawa670.blogspot.com"][/caption]
Telah berbagai upaya dilakukan oleh pihak non-Hindu untuk mengklaim kejayaan majapahit, entah mengapa mereka demikian genjarnya mengklaim kejayaan masa lalu Majapahit. Sebenarnya tidaklah baik mengklaim kejayaan masa lalu sebagai milik golongan tertentu , hal itu justru hanya menunjukan kebodohan. Jika memang benar apa yang mereka klaim sebagai wujud kesempurnaan dari ajaran agama tertentu , namun mengapa bangsa Indonesia justru tenggelam dalam kemiskinan dan semakin maraknya tindak pidana korupsi? padahal mereka di negeri ini adalah mayoritas . sungguh menyedihkan klaim atas kebenaran (Truth claim) jika kenyataanya tidak dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju.
Masih terngiang – ngiang ditelinga klaim atas Majapahit sebagai kesultanan Islam, namun klaim tersebut telah dipatahkan oleh berbagai pihak , kususnya di dunia maya . Anggapan Majapahit merupakan kesultanan Islam (?) pertama kali dimunculkan oleh Herman Sinung Janutama dalam bukunya ‘Kesultanan Majapahit, fakta yang tersembunyi’, diterbitkan oleh LJKP Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta, edisi terbatas Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Yogyakarta 2010, yang pada intinya dalam buku tersebut dipaparkan fakta-fakta tersembunyi dengan berbagai dasar temuan sehingga tercapai suatu kesimpulan yang menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit adalah merupakan kerajaan Islam yang berbentuk ‘Kesultanan Majapahit’. Sungguh amat disayangkan keberadaan buku ini yang jelas-jelas menunjukkan adanya upaya pembelokkan sejarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Kini muncul klaim baru terhadap kejayaan majapahit , klaim ini dimuat di kompas online dipublikasikan oleh Jodhi Yudono yang berjudul “ Peran Gayatri, Gajah Mada dan Islam Atas Kejayaan Majapahit ” yang isinya merupakan resensi buku “Gayatri Rajapatni : Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit”, sebagai penulis yaitu Earl Drake dan buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta , February 2012.
Dari isi artikel pada kompas tersebut saya menemukan beberapa pernyataan yang janggal dan menurut saya itu hanya merupakan klaim kebenaran (Truth Claim) yang menyesatkan. Dari beberapa pernyataan yang ada disini akan dibahas yang mencolok yang dapat menyesatkan banyak orang, diantaranya:
Klaim Politik Gajah Mada.
(“Ada beberapa politik Gajah Mada yang luar biasa, yang akhirnya membawa kejayaan bagi Majapahit di Nusantara, seperti :
1) Memperluas wilayah Majapahit dengan menundukkan Kerajaan-kerajaan di Nusantara, saat beliau di lantik menjadi Maha Patih, dengan tekad Sumpah Palapa ( Tan ayun amukti Palapa- tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah puasa ala nabi Daud AS.)
2) Menyusun kitab hukum “Kutara Manawa sastra” yang meniru AL Qanun al Azazi (kitab Hukum syariat Islam)
3) Menerapkan Politik Bahasa penduduk, yaitu : Bagi Pribumi Jawa adalah Bahasa Jawa, dan bagi orang luar Jawa (seberang ) adalah Bahasa Melayu Islam (dengan merombak Bahasa Melayu kuno yang bercampur Bahasa Sansekerta). Politik Bahasa ini menyebar di seluruh Nusantara : dari Pattani , Champa, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Sulu (Moro Philipina), Darwin Australia, dan semua negeri-negeri polinesia dan micronesia pasifik.).
Klaim pertama ,Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatan Gajah Mada menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton. Yang berbunyi :
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa"
Terjemahan;
Beliau Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, beliau Gadjah Mada,(berkata) “selama aku belum menyatukan nusantara, aku takkan menikmati palapa, sebelum aku menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.
Pada artikel “Peran Gayatri, Gajah Mada dan Islam Atas Kejayaan Majapahit” , kata Tan ayun amukti palapa diterjemahkan sebagai buka puasa ; “ Sumpah Palapa ( Tan ayun amukti Palapa- tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah puasa ala nabi Daud AS.)?”, didalam Wikipedia kata amukti palapa juga diterjemahkan sebagai melepaskan puasa (buka puasa), terjemahan tersebut hanya terjemahan bebas. Klaim ini dapat disimpulkan bahwa sumpah palapa merupakan metode puasa dalam Islam seperti yang dilakukan oleh nabi daud. Sekilas tampak benar hal tersebut berkaitan dengan puasa, namun jika diselami lebih dalam maka akan menemukan hasil yang berbeda. Arti dari ”Amukti Palapa” adalah menyebutkan bahwa Gajah Mada bersumpah tidak akan beristirahat (menikmati palapa) hingga mampu menyatukan nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Hal ini merupakan janji bukan soal puasa .
Didalam ajaran Hindu ada banyak cara melakukan pantangan (brata) atau disebut Dasa Nyama Brata dan Dasa Yama Brata, misalnya bagian dari Dasa Nyama Brata adalah Bratha artinya taat akan sumpah dan janji . Selain brata (pantangan) dalam ajaran hindu puasa juga merupakan bagian yang penting, kata puasa sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu Upawasa yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan (Upa;dekat,wasa;Tuhan). Didalam Manu smerti dan Parasara smerti puasa bagian dari cara penebusan dosa.
Jika pada klaim diatas sumpah palapa dinyatakan sebagai bagian dari puasa, menurut saya hal tersebut tidaklah tepat. Sumpah palapa yang diikrarkan Mahapatih Gajah Mada merupakan pengamalan dari salah satu ajaran Panca Satya;
Satya Semaya : setia kepada janji .
Satya Herdaya : setia kepada kata hati atau setia kepada diri sendiri.
Satya Mitra : setia kepada sahabat/teman.
Satya Wacana : setia kepada kata-kata
Satya Laksana : setia kepada perbuatan, bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.
Sumpah palapa yang ucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada merupakan pengamalan Satya Semaya (setia kepada janji) dan Satya Wacana (setia kepada kata-kata). Tampak jelas klaim diatas hanya mengada-ngada dan mencocokan dengan ajaran agama tertentu , padahal sudah sangat jelas agama yang dianut pada masa kejayaan Majapahit adalah agama Hindu-Budha yang mengajarkan tentang puasa dan juga tentang kesetiaan (satya). Tidaklah mengherankan jika sang Mahapatih melakukan sumpah seperti itu karena didalam agama yang dianut sebagai agama Negara saat itu mengajarkan tentang pentingnya setia kepada janji dan juga setia atas apa yang diucapkan atau setia kepada kata-kata.
Klaim kedua, Kutara Manawa Sastra Tiruan Hukum syariat Islam.
Kutara Manawa Dharmasastra atau Kutara Manawa Sastra merupakan kitab perundang-undangan Majapahit , Kitab perundang-undangan jaman Majapahit tersebut dalam Negarakertagama disebut dengan “agama” sebagaimana adanya sekarang ini terdiri dari 275 pasal, namun ternyata bahwa diantaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali, sehingga di dalam terjemahannya hanya disajikan 272 pasal saja, karena salah satu pasal telah rusak dan dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis. Kitab ini isinya mirip dengan Manawa Dharmasastra , hanya saja jumlah sloka tinggal 275 pasal sedangkan Manawa dharmasastra terdiri dari 12 Bab (adyaya) dan 2.685 pasal (sloka), kitab hukum hindu ini hanya merupakan salah satu dari 21 buah Dharmasastra , namun Manawa Dharmasastra merupakan kitab hukum hindu yang terbesar serta membahas 18 titel hukum.
Susunan kitab Kutara Manawa (agama) seperti adanya dalam bahasa Jawa Kuno beraduk tidak karuan, boleh dikatakan tidak dapat diketahui ujung pangkalnya. Untuk memperoleh gambaran tentang hal-hal yang dijadikan undang-undang tersebut, maka susunan yang beraduk tersebut disesuaikan dan diatur kembali ke dalam pelbagai bab, dimana pada tiap-tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis sehingga ada sekedar sistematik dalam susunannya, sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem yang tidak diketahui lagi. Mungkin usaha penyusunan kembali itu sekedar mendekati susunan aslinya. (Prof. Dr. Slametmulyana, Negarakretagama dan Tafsir sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1979, hal. 184).
Hasil usaha penyusunan kembali tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Ketentuan umum mengenai denda ;
Bab II : Delapan macam pembunuhan yang disebut astadusta ;
Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula ;
Bab IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah ;
Bab V : Paksaan atau sahasa ;
Bab VI : Jual-beli atau adol-atuku ;
Bab VII : Gadai atau sanda ;
Bab VIII : Utang-piutang atau ahutang-apihutang ;
Bab IX : Titipan ;
Bab X : Mahar atau tukon ;
Bab XI : Perkawinan atau kawarangan ;
Bab XII : Mesum atau paradara ;
Bab XIII : Warisan atau drewe kaliliran ;
Bab XIV : Caci-maki atau wakparusya ;
Bab XV : Menyakiti atau dandaparusya ;
Bab XVI : Kelalaian atau kagelehan ;
Bab XVII : Perkelahian atau atukaran ;
Bab XVIII : Tanah atau bhumi ;
Bab XIX : Fitnah atau duwilatek.
Pada jaman kerajaan Majapahit, pengaruh India meresap dalam segala bidang kehidupan, pengaruh India tersebut juga terasa sekali dalam bidang perundang-undangannya. Nama agama dan Kutara Manawa telah jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam bidang perundang-undangannya. Kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dijadikan pola dasar perundang-undangan pada masa Majapahit yang disebut dengan agama atau Kutara Manawa isinya adalah saduran dari kitab perundang-undangan India tersebut yang telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Kitab Kutara Manawa ini pada dasarnya adalah merupakan kitab undang-undang jenayah atau pidana, karena isinya terutama langsung menyangkut penjelasan-penjelasan tentang tindak-tindak pidana yang dapat dikenai denda atau hukuman berupa uang, barang atau hukuman mati, dan di dalam kitab ini tidak banyak mengandung nasehat seperti dalam kitab Manawa Dhamasastra.
Pada pasal 109 kitab Kutara Manawa dijelaskan bahwa isi kitab perundang-undangan ini disarikan dari kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dan Kutaradharmasastra. Bunyinya seperti berikut ini : "Kerbau atau sapi yang digadaikan setelah lewat tiga tahun, leleb sama dengan dijual menurut undang-undang Kutara, menurut undang-undang Manawa baru leleb setelah lewat lima tahun. Ikutilah salah satu karena kedua-duanya adalah undang-undang. Tidak dibenarkan anggapan bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Manawadharmasastra adalah ajaran Maharaja Manu, ketika manusia baru saja diciptakan, beliau seperti Bhatara Wisnu. Kutarasastra adalah ajaran begawan Bregu pada jaman Treptayoga, beliau seperti Bhatara Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang ; bukan buatan jaman sekarang, ajaran itu telah berlaku sejak jaman purba".
Memperhatikan uraian diatas , klaim yang menyatakan kitab Kutara Manawa Sastra tiruan hukum syariat Islam hanyalah klaim kosong yang hanya berlandaskan logika yang keliru. Tidak layak disebut sebagai kebenaran melainkan pembenaran .
Klaim ketiga, Klaim Penggunaan Bahasa Lokal
Penggunaan bahasa penduduk atau menerapkan politik bahasa penduduk , saya tidak begitu memahami maksudnya. mungkin model penerapan bahasa menyesuaikan dengan penduduk local , mungkin hal tersebut dikira merupakan cara penerapan ajaran islam.
Dalam tradisi hindu , penggunaan bahasa local dalam menterjemahkan ajaran veda tersirat didalam ajaran Manawa Dharmasastra VII.10 , yang berbunyi :
karyam so’vekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa (Tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh bertentangan dengan tattwa (kebenaran).
Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, Hindu bali berbeda dengan Hindu Jawa , Hindu Kalimantan berbeda dengan Hindu Lombok, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam prateknya selalu meyesuaikan dengan Perkembangan Jaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada. Demikian pula halnya dengan bahasa yang digunakan. Contoh misalnya ; kitab Mahabharata pada jaman dahulu dirubah menggunakan bahasa Jawa kuno. Banyak sekali kitab Hindu yang berbahasa jawa kuno yang merupakan tafsiran dari kitab Hindu yang berbahasa sansekerta. Kalau agama lain, apakah meninggakan jejak yang kitabnya berbahasa local dari jaman dahulu?.
Masih banyak lagi pernyataan yang nyeleneh yang patut ditumbangkan , seperti misalkan pernyataan yang mengungkapkan bahwa Mahapatih Gajah Mada adalah seorang Muslim, benar-benar tertawa geli membaca pernyataan seperti itu. Mungkin sang penulis buku tersebut ingin mencari popularitas dan menjual karya tulis controversial sehingga laris terjual. Sungguh sangat disayangkan jika mereka bertindak seperti itu, namun kita sangat bersyukur , masyarakat Indonesia bukan masyarakat yang gampang dibodohi apalagi dikibuli dengan memutar balikan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H