Seks Dalam Sastra Suci
Seks merupakan salah satu tujuan hidup manusia, namun bagi sebagian besar masyarakat tabu untuk membicarakannya. Barangkali akibat dari tabu-mentabukan ini menyebabkan semakin tingginya pelanggaran norma-norma yang berkaitan dengan seks seperti seks diluar perkawinan dan gaya seks yang senonoh.
Dalam ajaran Catur Purusa Artha; empat tujuan hidup manusia [Dharma, Artha, Kama, Moksa], seks merupakan tujuan hidup pada urutan ke tiga yang disebut Kama. Hal ini menyiratkan bahwa untuk mencari kepuasan seks [kama] terlebih dahulu kita harus tahu tentang dharma [aturan hidup, kewajiban, kebenaran] dan sudah memiliki kekayaan [artha].
Pengetahuan tentang seks perlu dipelajari sejak usia dini untuk menghindari pelanggaran ajaran agama akibat ketidaktahuan tentang seks. Akan tetapi pembelajaran tentang seks dikenalkan secara bertahap, menyesuaikan dengan usia.
“Yang bernama cerita sanghyang asmara perlu dipelajari dari anak-anak sampai umur tua, apabila orang tidak tahu tentang ajaran sanghyang asmara, orang itu tidak bijaksana namanya” (Lontar Resi Sembina).
Persoalan seks rupanya telah menjadi topik menarik yang menggelitik minat para sastrawan sejak zaman dahulu kala hingga sastrawan-sastrawan modern belakangan ini. Seksualitas tampaknya menjadi inspirator para sastrawan untuk menggugah rasa estetik, khususnya srenggara rasa (rasa birahi) sehingga karya sastranya menjadi lebih hidup dan menarik untuk dibaca. Banyaknya karya sastra yang mengeksplorasi seksualitas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masalah seksualitas telah menjadi masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Pada zaman Hindu kuno misalnya, muncul kitab-kitab Kamasastra dan yang paling terkenal ditulis oleh Watsyayana, yaitu Kama Sutra. Di China mempunyai buku Shu Ni Jing, Hung Lou Meng dan Yin Yuan Thu yang membahas seks secara hampir sempurna (Hariwijaya, 2004: 41 dalam Nanang Sutrisno, 2010, seperti dikutip dari blog dhanuwangsa).
M. Aryana (2006:9 dalam Suwantana, 2011:13) mengatakan bahwa banyak sekali teks-teks lontar di Bali yang memuat ajaran tentang seks yang sesungguhnya bisa dijadikan acuan moral dalam perilaku seksual masyarakat. Teks tersebut seperti, Resi Sembina, Yaning Stri Sanggama, Rahasya Sanggama, Smarakridalaksana, Stri Sasana, Wadu Laksana, Rukmini Tattwa, Indrani, Pamedasmara, Usada Samaratura, Prasi Dampatilalangon, dan lain-lain.
Dalam sastra-sastra Jawa Tengahan di Jawa, lahir sastra-sastra yang membicarakan seksualitas di antaranya, Serat Nitimani, Serat Kamaweda, dan Serat Centhini. (Nanang Sutrisno, 2010, Loc.cit).
Menghisap Vagina
Sebelum berhubungan intim terdapat berbagai teknik untuk mencapai hubungan seksual yang lebih panas, pemanasan ini dalam istilah seksologi sering disebut foreplay. Pemanasan sebelum ber hah hih huh di ranjang tentu sangat diperlukan terutama oleh kaum perempuan, tujuannya untuk mengeluarkan pelumas sebelum bumi terbelah dua ditusuk pedang tak bertulang. Ada berbagai teknik pemanasan namun yang masih kontroversi adalah menghisap vagina atau menghisap kemaluan.
Kitab suci Manawa Dharmasastra memberikan batasan antara kotor dan tidak kotor pada tubuh dengan batasan pada pusar. Hal ini menyiratkan seseorang tidak dibenarkan menghisap lubang tubuh yang ada di bawah pusar. [Baca juga Haram Menelan Sperma].