Kata “Brow” semakin marak digunakan sebagai percakapan norformal dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya kalangan kaum muda. Kecendrungan kata “brow” ditunjukan pada kaum muda laki-laki. Namun kadang juga ditunjukan pada kaum wanita.
Kadang kita akan tertawa ketika seseorang berbicara tidak bisa menempatkan kalimat dalam berinteraksi. Bahasa nonformal biasanya tidak punya asal-usul yang jelas, meski bahasa tersebut cepat axis di masyarakat dan tentunya juga cepat menghilang.
Jujur, saya kurang suka dengan bahasa “alay”. Lebih suka menggunakan bahasa formal meski dalam percakapan nonformal. Demikian juga tidak suka menggunakan kata “brow” atau “broo”.
Di suatu tempat, saya pernah mendengar percakapan seorang pemuda menyapa seorang gadis dengan kata “Hai brow..”. Saya hanya bisa nyengir mendengar sapaan anak muda itu. Apalah sebabnya demikian? Setahu saya, kata “Brow” atau “Broo” merupakan kependekan dari kata “Brother” yang berarti laki-laki. Demikian pula kata “Sis” merupakan kependekan dari kata “Sister” yang berarti perempuan.
Dalam hal percakapan nonformal, “Hai brow..” berarti “hai kawan..(laki-laki)”. Sedangkan dalam percakapan formal, itu berarti saudara laki-laki. Daripada menggudakan kata “Brow”, saya lebih suka ucapkan atau tulis secara lengkap, yaitu “Brother”. Lebih elegan dan sopan.
Namun kadang saya juga suka bahasa nonformal yang asyik, misalnya penggunaan kata “Yups” atau “Yeps” yang berarti “Ya”. Kata tersebut merupakan bahasa gaul dari kata “Yes”.
Dalam kitab Canakya Nitisastra ada dinyatakan bahwa kebangsaan seseorang bisa dikenali dari bahasanya, seperti pepatah melayu mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”.
Seorang kompasianer ada yang mengungkapkan, bahasa erat sekali dengan kejiwaan, khususnya anak. Menurutnya, pendidikan bahasa sejak kecil akan membentuk kepribadian seseorang. Bila sejak kecil seorang anak dididik dengan bahasa yang baik dan benar, maka kepribadian anak pun akan terbentuk dengan baik.
Tentu saya setuju dengan pernyataan beliau. Dalam tulisan yang berjudul “Pro-Kontra Bahasa Alay” saya pernah menuliskan “Bahasa yang dihormati akan menjadikan penggunanya dihormati. sebaliknya bahasa yang tidak dihormati maka penggunanya akan dihancurkan oleh bahasa itu sendiri” hal ini tak terlepas dari sudut pandang agama dimana dikatakan “suara” adalah Tuhan, sehingga apabila suara itu dicampakkan maka penggunanya juga akan dicampakan. Demikian juga berlaku untuk tulisan, terlebih lagi tulisan-tulisan atau huruf-huruf kuno dibuat berdasarkan symbol-simbol alam semesta.
Baca juga Pro Kontra Bahasa Alay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H