[caption id="attachment_223365" align="aligncenter" width="567" caption="Otonan Si Anak Mungil (image/rumahsanjiwani.wordpress.com)"][/caption]
Hampir sebagian besar masyarakat sudah mengenal Hari Ulang Tahun yang merupakan perayaan hari kelahiran berdasarkan penanggalan kalender geogrian atau kalender masehi. Menurut saya, perayaan hari ulang tahun berdasarkan kalender masehi hanya bersifat ceremonial dan hura-hura saja, hanya sedikit bersentuhan dengan nilai-nilai spiritual.
Bagi masyarakat modern tampaknya lebih suka merayakan hari ulang tahun berdasarkan penanggalan kalender masehi, padahal ada yang berasumsi bahwa perayaan ini berkaitan dengan perayaan keagamaan bagi penganut Kristen/Nasrani.
Masyarakat Nusantara sebelum dipengaruh dunia barat, mereka sudah mengenal perayaan hari ulang tahun dan dikenal dengan berbagai istilah, salah satunya“selametan” yang dikenal di Jawa. Dalam tradisi Hindu Bali, selametan untuk hari ulang tahun disebut “otonan”.
Otonan berasal dari kata “wetu” yang berarti lahir. Kemudian kata ini menjadi “pawetuan” yang berarti kelahiran. Kata pawetuan berubah menjadikata “paweton”, dan akhirnya menjadi kata oton atau otonan yang bermakna hari kelahiran. Otonan ada juga menyebutnya “palekadan” yang juga bermakna hari kelahiran. Perubahan kata wetu menjadi oton/otonan, sama halnya dengan kata“keratuan” menjadi “Kraton”.
Seperti yang kita ketahui, hari ulang tahun yang dikenal masyarakat dunia dirayakan setiap satu tahun sekali (366 hari). Sedangkan otonan yang dikenal masyarakat Hindu Bali dirayakan 6 bulan sekali (210 hari) yaitu berdasarkan perhitungan wewaraan dan wuku/pawukon.
Umumnya otonan diperingati selama seseorang masih hidup, artinya meskipun seseorang itu sudah tua, tetap saja ia memperingati otonan. Namun di beberapa daerah di Bali, otonan kadangkala hanya dirayakan hingga seseorang sudah dewasa. Misalnya setelah merayakan otonan ketika ia sudah merayakan ritual menek truna (bagi anak laki-laki) dan menek daha (bagi anak perempuan). Ritual menek truna dan menek daha serupa dengan sweet seventeen yang dirayakan dengan meriah dengan mengundang seluruh keluarga besar dan teman baik. Kelebihan otonan dan menek truna dan menek daha disertai dengan upakara yang besar untuk memuja Tuhan.
Demikian juga dalam memperingati otonan, umumnya dibuatkan upakara atau dalam bahasa Indonesia mungkin dapat disetarakan dengan “sesajen”.Dalam memperingati otonan ini tujuannya bukan sekedar memperingati hari kelahiran, melainkan tujuannya untuk pemberkahan bagi atman atau jiwa/roh agar seseorang selalu mendapat keselamatan dan kesejahteraan. Ketika pelaksanaan otonan, dilakukan pemujaan terhadap paramaatman/Tuhan sebagai jiwa setiap mahkluk hidup.
Pada era post modern seperti sekarang ini, peringatan otonan tampaknya muIai dilupakan terutama di perkotaan, padahal peringatan otonan jauh lebih sakral daripada hari ulang tahun ala Kristen. Memperingati otonan kadang dianggap kuno daripada memperingati hari ulang tahun. Hal seperti itu sangat disesalkan. Kenapa kita bangga mengadopsi budaya luar dripada menggunakan budaya sendiri. Sejatinya budaya masyakat kita jauh lebih adiluhung daripada budaya barat yang jauh dari nilai-nilai agama yang kita anut.
Nanti ketika budaya kita diklaim bangsa lain, baru kita mau menjaga budaya sendiri. Sebelum itu terjadi, mari kita lestarikan budaya sendiri.
Catatan: Contoh otonan untuk kelahiran saya. Saya lahir hari senin/soma paing, wuku merakih, dan dauh peta.Bisa disingkat Soma Paing Merakih, Dauh Peta. Dari hari kelahiran itulah pembentuk nama saya (MERakih, peTa, soMA PAing=MERTAMAPA/MERTAMUPU).
Komentar di facebook:
Hari Ulang Tahun, Sudah Punya Kenapa Diganti?
Dalam tradisi Veda, upacara atau ritual untuk manusia disebut Samskara, juga dilaksanakan bagi umat Budha. Ada 16 banyaknya. Mulai dari upacara bayi dalam kandungan (Garbhadana, dilanjutkan dengan Pumsavana dan Simantonnayana), Jatakarman (Upacara Bayi baru lahir), Namakarana (pemberian nama bayi), Nishkramana (upacara empat bulan, dan bayi pertama kalinya dibolehkan keluar rumah, turun tanah), Annaprashana (upacara bayi pertama makan makanan padat, seperti nasi, yaitu ketika berusia enam bulan), Chudakarana (potong rambut pertama, yaitu pada tahun ketiga), Karnavedha (menindik telinga anak, di Bali tradisi ini sudah hilang), dan lain sebagainya, sampai upacara kematian (Antyesti Samsakara, ngaben).
Kemudian tradisi Veda ini telah menyatu ke dalam tradisi nusantara, khususnya Jawa dan Bali. Maka di Bali dikenal dengan berbagai upacara untuk manusia, di Jawa disebut selamatan. Hampir serupa dengan tradisi Veda, di Bali masih juga ada upacara Bayi dalam kandungan (sudah jarang dilakukan), upacara bayi 3 hari, 7 hari, upacara satu bulan pitung dina alias 40 hari [ini juga masa akhir cuntaka bagi seorang istri melahirkan], upacara 3 bulanan (turun ke tanah), upacara pemberian nama bayi, upacara otonan atau maplekadan (ulang tahun, enam bulan sekali), upacara otonan besar (sweet seventeen ala Hindu Bali) disertai dengan upacara menek kelih [bagi laki-laki disebut menek truna/menginjak menjadi pemuda, sedangkan untuk perempuan disebut menek daha/menginjak menjadi pemudi], upacara pernikahan (wiwaha), sampai pada akhirnya upacara kematian (ngaben). Uniknya, upacara ngaben ini mengulang hampir semua upacara ketika masih hidup; Upacara lahir kembali/diksa, upacara 12 hari, upacara 40 hari, dll. Tapi biasanya disederhanakan dilaksanakan semua ketika ngaben.
Masyarakat Hindu yang mencap dirinya sebagai orang modern justru melupakan tradisi Hindu. Seharusnya kita bangga memiliki tradisi yang sarat makna dan bernilai religius tinggi. Sudah punya kenapa diganti? bangga dong jadi Hindu, proud to be Hindu.
Bagi masyarakat Bali tradisional, otonan masih dipertahankan dan menganggap hari ulang tahun ala Kristen dianggap tidak ada. Hanya saja, kadang terbawa suasana gara-gara ada facebook, sehingga banyak yang mengucapkan selamat ulang tahun.
Tetapi, bagi masyarakat Bali tradisional, tak pernah merayakan ulang tahun, sama seperti saya, saya tak pernah merayakan ulang tahun yang kebarat-baratan, tapi rutin merayakan otonan atau maplekadan setiap enam bulan sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H