[caption id="attachment_344798" align="aligncenter" width="486" caption="Berjuang Menghadapi Nasib"][/caption]
Perjuangan menghadapi perjalanan hidup yang semakin rumit, menderita berkepanjangan, sering kali seseorang putus asa, bahkan tak jarang hingga bunuh diri, terlebih pada era globalisasi dengan persaingan yang semakin ketat dan penuh intrik. Dalam menghadapi berbagai himpitan ekonomi, berbagai masalah, bagi sebagian orang memilih untuk bergantung pada nasib, pasrah terhadap kehendak sang takdir. Mendapat rejeki, kita bersyukur, tak dapat rejeki, kita pasrah terhadap kehendak Yang Kuasa.
Jika kita mencermati ajaran agama, terutama hukum karma, hukum sebab akibat, pada hakekatnya manusia diberikan kehendak bebas terbatas. Mau kaya atau miskin, menjadi orang baik atau orang jahat, manusia sendiri menciptakan nasibnya dan Tuhan sebagai penentu dan pengendalinya.
Dengan berusaha berdasarkan pengetahuan, kebijaksanaannya, disertai doa pada Yang Kuasa, seseorang bisa merubah nasib buruknya menjadi nasib baik, mampu merubah sifat jahat menjadi sifat baik, bahkan seseorang mampu memperpanjang atau memperpendek umurnya dengan perbuatannya. Akan hal ini ada sebuah kisah dalam kitab Purana tentang Rishi Markandeya dilindungi Yang Kuasa, dewa Shiwa. Legenda ini juga diceritakan pada film Mahadewa.
Tersebutlah keluarga Brahmana, Rsi Mrikandu dan istrinya Marudmati melaksanakan tapa brata yoga semadi, menyembah Mahadewa, memohon anugerah seorang anak. Karena ketekunannya berbhakti kepada Tuhan, Tuhan berkenan mewujudkan diri-Nya sebagai Tuhan berpribadi, Mahadewa, memberi anugerah seorang anak.
Rsi Mrikandu dan istrinya Marudmati diberikan dua pilihan, memilih anugerah anak yang berbakat dan cerdas tetapi berumur pendek atau anak yang berumur panjang tetapi dengan kecerdasan terbatas, bodoh. Rsi Mrikandu memilih yang pertama. Tuhan berkarunia. Keluarga Brahmana itu dianugerahi seorang anak teladan, cerdas, bijak, diberi nama Markandeya, ditakdirkan untuk meninggal pada usia 16 tahun (pada film Mahadewa berusia 12 tahun).
Markandeya tumbuh menjadi pemuja agung Mahadewa dan pada hari kematiannya tiba, ia melanjutkan ibadahnya kepada Mahadewa dalam bentuk ShivaLinggam, Lingga-Yoni.Para utusan Yama (utusan dewa kematian) tidak dapat mengambil nyawa Markandeya karena pengabdiannya sangat besar dan beribadah terus-menerus kepada Mahadewa.Kemudian dewa Yama datang sendiri untuk mencabut nyawa Markandeya, dikalungkannya tali pada leher sang pemuda yang bijak. Markandeya tersungkur pada Sivalingga, kemudian muncullah Mahadewa dengan kemarahan yang amat besar, menyerang dewa Yama atas perbuatannya mengambil nyawa Markandeya. Dewa Yama kalah dan memohon ampunan kepada Mahadewa. Markandeya yang bijak dihidupkan kembali, dianugerahi kehidupan kekal abadi, dan mendapat anugerah Mahamrityunjaya Mantra [juga disebut Tryambakam mantra, tertulis dalam Rg Veda (Rv 7.59. 12)]. Markandeya juga dianugerahi untuk menulis Veer Cahritra, dikenal sebagai Durga Saptashati, bagian dari Markandeya purana.
Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dengan usaha dan bhakti kepada Yang Kuasa, bahkan umur pun dapat diperpanjang. Demikian sebaliknya, tanpa adanya usaha, atau pasrah kepada nasib, bergantung kepada nasib, kehancuran akan menjemput. Akan hal ini, terdapat nasehat seekor ikan dalam ‘Kisah Tiga Ekor Ikan’ pada buku Panca Tantra dari India (di Bali dikenal Cerita Ni Dyah Tantri, di Jawa dikenal Tantri Kamandaka, dan ada pula kisah 1001 Malam). Pada bagian cerita ini, berkisah tentang binatang yang bijakasana sedang menghadapi peliknya kehidupan, percakapan di antara burung rawa-rawa, bercerita tentang tiga ekor ikan. Ceritanya sebagai berikut:
Di sebuah kolam yang indah, hiduplah tiga ekor ikan. Mereka bernama Anagatavidhata, Pratyutpannamati, dan Yadbhavishya.
Pada suatu hari, lewatlah beberapa nelayan di sana. Mereka kagum melihat kolam itu.
“Kita belum pernah menyelidiki kolam istimewa ini,” kata seorang nelayan kepada rekannya. “Nampaknya banyak ikan di sini. Tetapi hari ini kita telah mendapatkan hasil tangkapan yang lumayan. Di samping itu sekarang sudah sore, maka lebih baik pulang saja. Kita kembali ke sini besok saja. “
Percakapan itu didengar Anagatavidhata. Dia amat kaget seperti disambar petir. Sebab bencana akan menjemput besok. Lalu dia memanggil semua ikan di kolam itu.
“Apakah kalian mendengar pembicaraan para nelayan itu tadi? Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini dan pergi ke kolam lain. Karena sebagaimana disebutkan:
Kalau si lemah berhadapan dengan si kuat, yang terbaik dilakukan si lemah adalah lari, atau bersembunyi. Jalan lain tak ada.
Saya rasa nelayan tersebut akan datang besok pagi. Mereka akan membunuh kita semua. Makanya kurang bijaksana kalau kita bertahan di sini meski hanya sekejap pun, karena:
Mereka yang sebelum terjadi bencana dapat mengungsi tanpa kesulitan akan terhindar dari kehancuran.
Mendengar pembicaraan Anagatavidhata begitu, Pratyutpannamati berkata.
“Anda benar. Mari kita pergi ke tempat lain.”
Tetapi Yadbhavishya tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Oh aku tidak setuju denganmu. Apakah baik meningalkan kolam ini yang sudah sejak dulu dihuni oleh nenek moyang kita, hanya karena mendengar omongan para nelayan itu. Bagaimana pun juga, kalau sudah waktunya, kita pasti mati’ Kematian tidak bisa kita hindari. Dimanapun kita berada, maut akan memburu kita, karena:
Orang yang bernasib baik, walaupun tanpa perlindungan, akan selamat. Tetapi orang yang bernasib buruk, walaupun dilindungi dengan baik, kehancuran akan datang melanda dirinya.
Karena itu, aku tidak sepakat denganmu.”
Anagatavidhata tidak menghiraukan kata-kata Yadbhavishya. Ia dan keluarganya segera berkemas dan meninggalkan kolam itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar Pratyutpannamati melihat kedatangan para nelayan dari kejauhan. Ia segera pula meninggalkan kolam itu bersama sanak keluarganya.
Tak lama kemudian para nelayan tiba di kolam itu. Segera mereka menebarkan jalanya. Semua ikan termasuk Yadbhavishya ikut terjaring dan menjadi santapan nelayan.
“Begitulah ceritanya,” kata burung rawa-rawa betina mengakhiri ceritanya. Kemudian lanjutnya, “Itulah sebabnya ku katakan:
Orang yang mengambil tindakan sebelum masalah itu terjadi, dan orang yang bertindak pada waktu masalah itu terjadi, keduanya akan selamat. Tetapi orang yang bergantung kepada nasib akan hancur, seperti Yadbhavishya dibinasakan oleh para nelayan.”
“Tetapi istriku,” kata burung rawa-rawa jantan. “Apakah engkau mengira aku sebodoh Yadbhavishya? buktikanlah sendiri, betapa hebatnya aku pada waktu aku mengeringkan laut.”
“Bagaimana mungkin engkau sanggup melawan laut?” kata burung rawa-rawa betina itu dengan nada mengejek. “Karena sebagaimana dikatakan:
Kalau orang lemah marah, dia hanya menyakiti dirinya sendiri. Dan orang yang menyerang musuh tanpa mengetahui kekuatan musuh, akan hancur seperti laron menyerbu api.”
“Tetapi sayangku,” Kata burung rawa-rawa jantan. “Jangan ngomong begitu! walaupun kamu kecil, jika kamu tekun, musuh yang paling kuat pun dapat ditaklukan. Seperti dikatakan:
Gajah dapat ditaklukan dengan tongkat. Nah, apakah sebuah tongkat sebesar seekor gajah? Apabila sebuah lampu dihidupkan, kegelapan akan sirna. Nah, apakah lampu itu sebesar kegelapan? Apabila halilintar menyambar gunung, gunung menjadi berantakan. Nah, apakah halilintar itu sebesar gunung? Jadi, orang tekun adalah orang yang kuat, besar kecilnya bentuk ukuran tidak begitu penting.”
Setelah berhenti sejenak, burung rawa-rawa jantan melanjutkan….
Baca juga: Pesan Bijak dalam Kisah Penculikan Dewi Sita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H