Cara berbusana masyarakat pada era post modern semakin menggila, terutama di kalangan kaum perempuan dari yang ABG hingga dewasa. Tanpa rasa malu mempertunjukan kemolekan tubuh seakan ingin mengundang lawan jenis untuk mendatanginya, mengundang lelaki hidung belang untuk mengajaknya berkencan bahkan hubungan seks terlarang. Bersyukur jika bentuk tubuhnya menawan sedap dipandang mata, akan tetapi banyak pula tanpa sadar mempertunjukan bentuk tubuh yang membuat orang lain yang melihatnya merasa jijik, seperti memperlihatkan paha atau pantat yang kehitaman.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seksi diartikan sebagai merangsang rasa berahi. Berdasar pada pengertian tersebut, berpakaian seksi dapat diartikan cara berbusana yang dapat membangkitkan gairah seksual dengan berpakaian terbuka.
Memberikan rangsangan seksual atau membangkitkan gairah seksual dengan berpakaian serba terbuka dianggap salah satu sifat buruk wanita pada jaman kali atau Kali Yuga, seperti dinyatakan dalam kitab purana, “Mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang memberi rangsangan seksual, larut dalam kesenangan seksual, perbuatan mereka buruk, mencari kenikmatan bersama lelaki lain, dan meninggalkan suami mereka sendiri.” (Siva Purana, Vidyeswara Samitha I.33). Baca juga: Perbuatan Buruk Wanita pada Jaman Kali.
Penampilan seksi yang menonjol terutama dalam penggunaan rok dan celana. Pada saat ini, cara berbusana seksi yang menjadi tren yaitu mode Hotpants dan Rok mini yang sangat digandrungi para gadis belia, bahkan juga wanita dewasa. Konon, mode ini pada awalnya digunakan para pelacur untuk memberikan rangsangan pada lelaki hidung belang.
Sebenarnya sebagian besar lelaki tidak suka melihat wanita yang terlalu seksi, bahkan sebagian besar lelaki merasa risih, jijik atau pun malu untuk memandangnya. Menurut sebuah studi, kebanyakan lelaki menganggap perempuan yang suka berpakaian seksi dianggap kurang cerdas. Baik penampilan di dunia nyata maupun pasang foto di media sosial. Perempuan dewasa pun menilai demikian bahwa perempuan yang menampilkan foto-foto busana yang rapi (tidak seksi atau tidak terbuka) dianggap lebih cerdas, cantik dan diinginkan sebagai teman.
Peneliti dari Universitas Princeton melakukan studi pada pria dengan memperlihatkan serangkaian foto wanita yang mengenakan pakaian berpotongan seksi. Saat melihat foto-foto tersebut, bagian otak yang bertanggung jawab pada aktivitas mental berkurang. Dan, para pria memandang wanita-wanita seksi adalah seorang yang kurang cerdas, ambisius, namun ramah. Studi lain yang serupa oleh Kurt Gray dan rekan dalam Journal of Personality and Social Psychology menemukan, pria mempersepsikan wanita yang memakai pakaian seksi sebagai seorang yang sarat emosi, rapuh, tapi kurang cerdas. Adapun foto wanita yang berpakaian sopan dan foto yang hanya menampilkan wajah dipandang pria yang ambil bagian dalam survei sebagai pribadi kompeten dan logis. (Viva, 2011).
Cara berbusana yang agak terbuka bahkan juga terjadi pada busana sembahyang atau berbusana ke tempat suci. Suatu waktu dalam sebuah seminar, seorang pembicara seminar pernah menyentil cara berpakaian generasi muda wanita Hindu yang berpakaian nyeleneh dengan menaikkan kambennya hingga betis terlihat. Menurutnya cara menggunakan kamben seperti itu dianggap bertentangan dengan tradisi berbusana ke pura. Demikian juga berpakaian kebaya yang terlalu transparan.
Menyimak sentilan seperti itu, teman mahasiswi yang duduk disebelah berpendapat bahwa itu kesalahan designernya yang merancang mode pakaian seperti itu. Saya menyanggah pendapatnya bahwa hal itu bukan salah designernya melainkan salah pengguna atau pemakainya, dalam hal ini kaum perempuan. Biasanya, seorang designer merancang pakaian yang digandrungi pemakainya supaya laku keras. Apabila desainnya tidak laku, perancang busana akan menghentikan produksinya. Dengan kata lain pakaian yang diproduksi adalah pakaian yang disukai pemakai.
Etika dan sopan santun berbusana sebenarnya sudah diatur dalam kitab suci meski tidak detail uraiannya. Seseorang dalam berpakain harus memperhatikan sopan santun dalam masyarakat, seperti dinyatakan, “Hendaknya ia berjalan di dunia fana ini menyesuaikan pakaiannya, kata-kata, dan pikirannya agar ia sesuai dengan umum, kedudukan, kekayaan, pelajaran sucinya, dan juga kebangsaannya. (Gautama Smeṛti IV.18).
Dalam lontar Sarasamuccaya dinyatakan bahwa wanita yang tidak tahu sopan santun dalam berpakaian hendaknya tidak diajak bergaul. Menurut kitab Kama Sutra, bagian tubuh wanita yang sensitif seperti tengkuk, buah dada, paha, dan betis dapat merusak mental orang yang melihatnya, oleh sebab itu bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu birahi hendaklah tidak diperlihatkan atau wajib ditutupi. Dalam ajaran Veda, rambut pun sebenarnya harus ditutupi, sehingga wanita-wanita India menggunakan kerudung.
Jika kita perhatikan busana tarian Bali, ajaran Veda terlihat implementasinya. Rambut digelung, dada ditutupi dengan hiasan berbentuk V, payudara dibungkus sampai pinggang. Kemudian bagian bawahnya dari pinggang menggunakan kamben hingga pergelangan kaki. Busana seperti itu pada jaman kerajaan Hindu merupakan busana putri-putri raja.