[caption id="attachment_354165" align="aligncenter" width="575" caption="Bhakti Shri Rama Kepada Mahadewa (www.facebook.com/Hukum.Hindu)"][/caption]
“Om Namah Shiwa Ya, Shubam Shubam Kuru Kuru, Shiwa Ya Namah Om”
Meski jarang menonton film Mahadewa, namun ketika sempat menontonnya mencoba untuk memberikan ulasan sesuai kemampuan untuk menguraikannya, karena film rohani seperti film Mahadewa mengajarkan suatu ilmu tidak secara langsung, artinya dibalik yang tersurat (dibalik cerita) ada pengetahuan yang disembunyikan (tersirat).
Oleh karena itu, ketika menonton film mahadewa kita tidak bisa memaknai cerita secara mentah-mentah sesuai cerita. Berbedada dengan film Mahabharata yang lebih terbuka dengan maksud yang hendak disampaikan, terlebih lagi film Mahadewa mendapat penafsiran atau penjelasan melalui sosok Shri Krisnha, yang seolah-olah memberi pengetahuan Rohani dari Surga. Oleh karena itu, saya mencoba mengumpulkan kembali ulasan yang pernah ditulis di facebook. Di awali dengan status karangan sendiri sebagai berikut:
Para Dewa Kecewa pada Umat Hindu
Pada waktu di bumi matahari sedang utarayana, pintu surga sedang terbuka, dan dewa Indra sedang beryoga untuk menebus dosanya akibat arogan terhadap dewa lainnya. Tapa dewa Indra terusik dengan mantra puja yang menyenangkan dewa Indra dan dewa lainnya. Dewa Indra lalu mengutus dewa Kama turun ke bumi untuk menyelidiki siapa gerangan yang melakukan pemujaan sehebat itu. Para dewa hendak memberi berkah kepada orang itu.
Sesampainya di Bumi, dewa Kama kebingungan, ternyata puja itu bersumber dari benda mati. Kembalilah dewa Kama untuk memberikan kabar tak menyenangkan itu kepada dewa Indra.
Dewa kama bersabda, “Paduka Indra, aku tak menemukan manusia yang melantunkan puja mantra yang menyenangkan kita. Aku hanya menemukan tape recorder di bale banjar yang melantunkan Puja Tri Sandya’
“Dewa Kama, benarkah itu?”
“Benar paduka”
“Sungguh mengherankan! umat manusia dikalahkan tape recorder, kemanakah umat manusia?”
“Mereka melupakan kita, paduka. Sepertinya mereka mulai mengikuti ajaran filsafat palsu” ujar dewa Kama.
Guru Mayamoha pernah mengajarkan kepada Iblis Tripurasura dan masyarakatnya bahwa surga dan neraka itu ada di bumi. Kesenangan adalah surga, penderitaan adalah neraka. Akibatnya penduduk kerajaan yang diperintah iblis Tripurasura akhirnya binasa semua. Tampaknya ajaran ini diikuti manusia modern. Manusia berusaha mati-matian mengejar materi demi kepentingan dirinya, hanya memikirkan hal-hal duniawi dan mengabaikan hal-hal rohani.
*Ini kisah karangan saya sendiri untuk menyindir umat Hindu yang doyan memutar tape recorder di Balai Banjar, meniru penganut agama tetangga yang doyan memutar alarm sholat di mesjid.
"Film Mahadewa Dibenci dan Dipuji"
Di media sosial, terutama facebook, saat ini banyak orang yang sewot terhadap penayangan film Mahadewa. Mereka beranggapan film ini syirik, bertentangan dengan ajaran agama tertentu. Mungkin mereka memahami kisah ini secara mata kuda.
Menurut kitab Siwa Purana, kisah Mahadewa merupakan permainan rohani Tuhan di alam semesta. Mereka yang mendengar kisah Mahadewa dengan seksama akan diberkati, keinginannya mudah tercapai, dosanya dilebur, dan lain sebagainya.
Dalam kisah Mahadewa, sebagian kebenaran masih disembunyikan, kandungan filosofi yang tinggi, sehingga dibutuhkan kebijaksanaan untuk memahami dibalik setiap cerita. Meski film Mahadewa dibenci sekelompok orang, namun film ini masih mendapat tempat di hati penontonnya.
Dari awal film Mahadewa ditayangkan, saya sudah kawatir setiap kisahnya ditelan mentah-mentah oleh penontonnya. Seharusnya para penonton menggali maksud yang tersembunyi dibalik kisah Mahadewa, terlebih lagi kisah ini diambil dari berbagai kitab purana, terutama kitab Siwa Purana.
Ketika Ajal Tiba
Prajapati Daksa, dewa penguasa alam pitara (roh leluhur) menolak kehadiran dewi Sati dalam upacara Yadnya yang dibuatnya. Para dewa lainnya seperti dewa Pencipta (Brahma), dewa pelindung (dewa Wisnu) dewi ilmu Pengetahuan (Saraswati), dewi kemakmuran (Laksmi), telah hadir disana sebagai upasakasi persembahan. Kehadiran para dewa atas undangan dewa prajapati daksa untuk menjadi saksi persembahan.
Dewi Sati amat murka karena kehadirannya ditolak, dewi Sati berubah wujud menjadi Adhi Shakti (Durga), yang memiliki banyak tangan, dengan berbagai senjata. Adhi Shakti dipuja oleh para dewa untuk menyenangkan-Nya. Setelah itu Adhi Shakti kembali menjadi dewi Sati, tubuh-Nya lebur, terbakar api. Dewi Sati meninggal.
Akibatnya, Mahadewa marah besar. Lalu diciptakannya Badra kali yang mengerikan (wujud Tuhan sebagai raja penghancur penjahat). Melihat kedatangan Badrakali, para para roh leluhur, para dewa ketakutan, terutama dewa Prajapati Daksa. Dalam ketakutannya, dewa Prajapati Daksa melantukan nama suci Tuhan Shiwa, memohon ampunan.
‘Terpujilah dewa shiwa, terpujilah dewa shiwa, terpujilah dewa shiwa’, kata-kata itu teurs terulang dari mulut dewa prajapati daksa. Badra Kali tak memberi ampunan. Kepala dewa Prajapati Daksa dipenggal. Atas permohonan para dewa, Badra Kali memberi ampunan, dewa Prajapati Daksa dihidupkan kembali tetapi kepalanya diganti dengan kepala kambing.
---
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa seseorang tidak boleh merendahkan salah satu nama suci Tuhan, menghina nama suci Tuhan merupakan perbuatan yang lebih hina dari sifat binatang. Begitu juga, ketika kita mengadakan suatu Yadnya (upacara, ritual, persembahan), kita tidak boleh mengabaikan Tuhan. Oleh karena itu, setiap ada upacara Yadnya di Bali sulinggih selalu mengundang para dewa dan Tuhan sebagai upasaksi Yadnya. Tuhan sebagai saksi dalam bentuk banten yaitu berupa Daksina dan banten Pejati sebagai bukti kesungguhan. Sedangkan ketika kita sembahyang, kita lebih dulu mengundang Tuhan Shiwa sebagai Saksi persembahyangan kita (Mantram Siwa Raditya, sembah kedua dalam kramanaing sembah).
Hal yang lebih penting dari kisah dipenggalnya kepala Prajapati Daksa, bahwa ketika seseorang akan mencapai ajalnya, hendaklah mengingat Tuhan, seperti yang dilakukan Prajapati Daksa dengan memuji Tuhan ‘Terpujilah dewa Shiwa’. Kata pujian ini berasal dari panca aksara ‘Om Namah Shiwa Ya’. Menurut kitab Siva Purana, nama suci Tuhan dapat menghancurkan berbagai dosa seseorang, seperti disebutkan;
“Tumpukan dosa-dosa yang besar akan terbakar menjadi abu seperti kebakaran hutan yang dilahap oleh api nama Siva. Semu dosa itu akan menjadi abu dalam waktu sekejap. Ini adalah nyata adanya, tidak diragukan lagi bahwa semua ini adalah kebenaran” (Siva Purana, Vidyesvara Samhita XXIII.23).
Apabila orang yang mengingat nama suci Tuhan ketika ajalnya tiba, maka dosa terbesar pun bisa diampuni. Dalam Bhagavad Gita dinyatakan bahwa, “Siapapun yang meninggalkan badannya pada saat ajalnya sambil ingat kepada-Ku, segera mencapai sifat-Ku. Kenyataan ini tidak dapat diragukan. Keadaan hidup manapun yang diingat seseorang pada saat ia meninggalkan badannya, pasti keadaan itulah yang akan dicapainya, wahai putera Kunti.”
Dengan mengingat nama suci Tuhan ketika ajal tiba, seperti yang dilakukan Prajapati Daksa, maka dosa seseorang dapat dikurangi, ditebus. Karena Prajapati Daksa mengingat nama suci-Nya ketika ajal tiba, maka ia diberi ampun, dihidupkan kembali meski kepala harus diganti dengan kepala kambing. Setelah berkepala kambing, Prajapati Daksa melakukan penebusan dosa dalam waktu yang lama, sehingga ia mendapat rahmat dari Tuhan, dan kembali normal setelah pertobatannya berhasil, dan diberi anugerah. Di Bali, Prajapati hingga saat ini mendapat pemujaan dekat dengan pura pemujaan dewa Shiwa, yaitu dalem Prajapati.
Tokoh Nandi dalam Film Mahadewa adalah seekor Sapi Abadi
Pernahkah anda memperhatikan tokoh ‘Nandi’ dalam film Mahadewa? bila diperhatikan, adegan dan dialog yang dilakukan Nandi terlihat kekanak-kanakan. Mungkin penonton tidak menyadari kalau tokoh Nandi itu sebenarnya adalah seekor Sapi abadi; Nandiswara.
Menurut kepercayaan Hindu, Nandiswara merupakan Sapi yang dimuliakan, beliau adalah ‘wahana’ bhatara Shiwa. Patung Nandiswara banyak ditemukan di Nusantara dalam wujud sapi suci, terutama pada candi-candi Hindu Siwaistik. Tetapi saya masih bingung, apakah Nandiswara sama dengan Nandini? ataukah Nandini Istrinya Nandiswara?
Menurut kisah Mahabharata Nandini merupakan Sapi yang dimuliakan sebagai salah satu Ibu, dari tujuh Ibu yang dimuliakan Veda. Disebutkan bahwa siapa yang meminum air susu Nandini maka orang itu akan hidup abadi di kahyangan, air susu Nandini juga dipercaya sebagai minuman para Dewa. Dalam kisah-kisah binatang versi Hindu [di Bali ada kisah ‘Tantri’ bercerita tentang lembu vs Singa], Nandini dikatakan Sapi kesayangan Bhatara Siwa, sehingga keturunan Nandini dimuliakan umat Hindu.
Makna Penderitaan Dewi Sati
[Dekat dengan Tuhan, penderitaan datang ]
Sati putri Prajapati Daksa mengalami penderitaan setelah mengenal Shiwa (Tuhan berpribadi sebagai Yogin), penderitaan ini akibat melanggar peraturan ayah-Nya, yang melarang memuja Shiwa. Prajapati Daksa angkuh terhadap Shiwa akibat ayah-Nya, dewa Brahma dikutuk Shiwa. Brahma dikutuk tidak akan dipuja manusia dan dipenggal salah satu kepala-Nya, tetapi Shiwa memberi toleransi, Brahma boleh dipuja bersama Wisnu. Kutukan ini menjadi sumber permusuhan antara Prajapati Daksa dengan bhatara Shiwa.
Atas pelanggaran yang dilakukan Sati, Sati dimarahi ayahnya dan Sati diwajibkan menjalani pertaubatan penebusan dosa akibat melawan dan melanggar perintah orang tua, meski sejatinya tidak ada pertaubatan penebusan dosa melawan orang tua, sebab melawan dan melanggar perintah orang tua dianggap perbuatan yang tiada pengampunannya.
Penderitaan Sati semua bermula akibat mengenal dewa Shiwa, Sati mengenal Tuhan dengan otodidak, bahkan Sati ragu-ragu mencintai dewa Shiwa. Hingga pada akhirnya Sati menemukan jawabannya, bahwa Sati dapat mencintai Shiwa dengan bhakti, sering memanggil nama-Nya. Sati menyadari bahwa Sati adalah Shakti yang lahir menjadi anak Prajapati Daksa. Setelah Sati mengenal jati diri-Nya, Sati merasakan kedamaian dan kebahagiaan.
Kisah Sati pada film Mahadewa ini, mengajarkan kepada manusia bahwa seseorang yang belajar mengenal Tuhan akan mengalami banyak cobaan, rintangan dan penderitaan. Terlebih lagi bila mencari Tuhan tanpa tuntunan guru kerohaniaan.
Para penyembah setia, pada akhirnya akan menemukan kebahagiaan sejati, bahkan hidup kekal bersama-Nya. Kebahagiaan abadi akan didapatkan apabila penyembah Tuhan telah mencapai tingkat ‘bhakti’, menganggap Tuhan adalah segala-galanya, menyerahkan semua permasalahan kepada-Nya, penyembah berbuat dipersembahkan kepda Tuhan. Jalan bhakti [Bhakti Yoga] bisa dimulai dengan melantunkan nama suci-Nya berulang-ulang setiap hari.
Dalam memuja Tuhan [dalam ajaran Siwaistik] ada dua hal sarana yang tidak boleh diabaikan; yaitu biji Rudraksa sebagai sarana japa (sebagai tasbih/genitri), dan Lingga Yoni sebagai symbol Tuhan. Hal ini pula yang dilakukan Sati, sering menggenggam biji Rudraksa dan menyentuh Lingga-Yoni. Lingga – Yoni merupakan symbol kemaluan; vagina dan kontol. Ada sebuah opini yang beredar di masyarakat, terutama di dunia maya, bahwa Lingga-Yoni juga terdapat di dalam Kabbah. Tetapi yang pasti, Lingga-Yoni banyak ditemukan pada candi-candi Hindu di nusantara.
Dalam kitab Siva Purana dijelaskan bahwa, seseorang yang memuja Tuhan Shiwa menggunakan media Lingga-Yoni [simbol kemaluan yang merupakan asal-usul kita, artinya kita lahir dari persatuan vagina dan kontol], maka penyembah yang taat tidak akan dilahirkan lagi, dengan kata lain mencapai moksa [bebas dari kelahiran berulang-ulang].
Candrama Sakit Hubungannya dengan Siwa Ratri
Ingin mengulas kisah pada film ‘Mahadewa’, tetapi akhir-akhir ini hampir tak ada waktu menuliskannya. Akan tetapi saya akan uraikan sedikit kisah sakitnya Candrama, sang dewa Bulan.
Candrama sakit setelah dikutuk dewa Prajapati Daksa, akibat melalaikan kewajibannya sebagai suami dan tidak menganggap salah satu istrinya sebagai istri. Candrama mendekati ajalnya [sakit berlarut-larut sehingga cahayanya semakin meredup, bulan mengarah pada bulan mati/tilem], namun atas pertolongan Dewa Shiwa, Candrama mulai sembuh dan tuhan Shiwa menstanakan di kepala-Nya. Candrama mendapat karunia dipuja manusia bersama Mahadewa, berbentuk bulan sabit.
Candrama mendapat pertolongan Tuhan Shiwa pada hari ke 14 [sehari sebelum tilem] dikenal sebagai malam Dewa Shiwa atau Siwa Ratri, sehingga umat Hindu diwajibkan memuja Shiwa dengan bergadang, puasa, puja, sedekah, dll. Perayaan ini dilakukan setiap satu bulan sekali, tetapi di Indonesia hanya dilakukan setahun sekali [sebenarnya adalah ‘Maha Siwa Ratri’].
Bulan sabit dalam aksara suci dikenal sebagai Ulu Chandra, tanpa ulu Chandra sebuah aksara tidak akan bertuah, dan sebaliknya dengan menambahkan ulu Chandra pada sebuah aksara akan menimbulkan dan membangkitkan kekuatan alam menjadi kekuatan gaib. Dalam perdebatan lintas agama, Bulan sabit sering dikaitkan dengan agama Islam, digunakan dalam menara mesjid. Konon, symbol ini menunjukan kalau Islam sebenarnya hanyalah serpihan dari ajaran Hindu, khususnya Siwaisme.
Tambahan pula, bulan Mati/Tilem dan Purnama merupakan hari suci bagi umat Hindu, hal ini masih ada kaitannya dengan Candrama. Ketika Candrama bercahaya (selama 15 hari) adalah siang bagi sang Roh, sedangkan ketika Candrama sakit [meredup selama 15 hari hingga tilem] adalah malam bagi Roh [Hal ini dipertegas didalam kitab hukum Manawa Dharmasastra], sehingga Tilem dan Purnama sering dilakukan pemujaan terhadap leluhur.
Dosa Terbesar
Ada lagi kisah pada Film Mahadewa yang membutuhkan interpretasi agar bukan hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntunan.
Ketika dewi Sati dipaksa untuk mau menikah dengan lelaki yang hanya atas pilihan ayahnya, Prajapati Daksa. Dewi Sati memenuhi permintaan ayahnya agar orang tuanya [Prajapati Daksa dan Pasuti] tidak bunuh diri dengan meditasi di air. Dewi Sati berjanji tidak akan egois, tidak lagi mencintai Mahadewa.
Sati berencana membuang Lingga-Yoni [symbol Tuhan] ke sungai. Nandiswara kawatir akan terjadi bencana besar jika itu dilakukan Sati. Nandiswara [Sapi abadi kendaraan Dewa Shiwa] memohon kepada dewa agar mencegah perbuatan Sati. Tuhan Shiwa tidak mengabulkannya, dan Nandiswara nekat meminta lingga-yoni sendiri kepada Sati, dan Sati memberikannya.
Kisah ini, bagi masyarakat awam masih sulit dipahami. Sebenarnya kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa seseorang tidak dibenarkan menjauhi Tuhan, tidak dibenarkan merusak symbol Tuhan, merusak pura, dll. Karena bisa mendatangkan bencana besar. Menurut kitab Siva Purana, salah satu dosa terbesar manusia adalah menghina Tuhan dan symbol-simbol-Nya. Mereka yang menghina symbol Tuhan, mereka akan mengalami penderitaan dan akan dimasukan ke dalam neraka.
Anak Kecil Menyenangkan Hati Mahadewa
Pada saat yang agung Mahadewa kehilangan Sati, Mahadewa amat berduka, meninggalkan kedudukan-Nya sebagai Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Alam semesta menjadi goyah, doa manusia dan para dewa tak terkabulkan, para iblis pun merajalela menyerang mahkluk yang tiada berdosa.
Mahadewa terilusi ciptaan-Nya, sehingga Mahadewa seakan-akan menderita dalam kesedihan. Pada saat kesedihan Mahadewa memuncak, Nandiswara mengajak Sukhan [anak kecil yang masih suci murni]untuk mencoba menyenangkan Mahadewa, Mahadewa tampak marah, tiba-tiba munculah Adhi Shakti dalam wujud Sati, Mahadewi menasehati Mahadewa supaya kembali dalam wujud Mahadewa, dan beliau pun kembali ke dalam wujud Mahadewa.
Penggambaran kisah di atas, bahwa anak kecil merupakan kesayangan Mahadewa, para dewa, leluhur. Beliau dapat disenangkan anak-anak kecil yang masih suci. Oleh karena itulah di Bali ada beberapa tari-tarian sakral hanya boleh dibawakan anak kecil untuk menyenangkan-Nya.
Wujud Mahadewa
Dalam berbagai kitab suci Hindu dinyatakan bahwa Tuhan itu Saguna Brahman [berwujud] dan Nirguna Brahman [tak berwujud], beliau maha pengasih, maha penghancur, menarik hati, menakutkan, mengerikan, dan lain sebagainya. Intinya, Tuhan memiliki berbagai nama dan rupa.
Akan tetapi Tuhan Yang Maha Besar [Mahadewa] digambarkan dalam wujud yang agak aneh, seperti wujud yang ditampilkan dalam film Mahadewa. Menurut kitab Siva Purana, Mahadewa itu Maha Tampan, tetapi yang terlihat manusia agak menyeramkan, memakai kalung ular dan tengkorak, berlumur abu suci, beryoga menyangga alam semesta di Kailasha, Tempat kremasi, kasarnya kuburan.
Secara logika, itu sesuatu yang lucu. Akan tetapi kebenaran ada kalanya tampak lucu, yang sebenarnya suatu yang menakjubkan. Penggambaran Mahadewa mengajarkan kepada kita bahwa kita semua akan mati dan berakhir di kuburan, yang merupakan awal perjalanan bertemu Tuhan. [Secara filosofi, kuburan merupakam tempat paling suci].
Tempat perang pandawa-kurawa pun di kuburan, dikatakan tempat tersuci di tanah arya, yaitu Kuruksetra [kuburan Dinasti Kuru]. Kuburan dikatakan sebagai tempat paling suci karena disanalah tempat leburnya panca maha buta, untuk menuju alam lebih tinggi. Akan tetapi, kuburan bagi seseorang tetap di dunia atau bagi seseorang yang masih hidup, dianggap mengotori tubuhnya, sehingga mereka yang ke kuburan menjadi cuntaka. Sedang kuburan bagi roh menuju alam lain terutama ketika sudah diaben dianggap menyucikan roh itu sehingga bisa mencapai alam yang lebih tinggi.
Membentuk Karakter Anak Dalam Tiga Masa
Meski belum menikah, kadang sudah mendambakan memiliki anak yang berbudi luhur, menghormati orang tua, cerdas, bijaksana, rupawan, dan lain sebagainya. Untuk tercapainya harapan itu, membutuhkan proses yang lama. Mengapa demikian?
Seperti ditegaskan penguasa alam semesta dalam film Mahadewa, Dewa Shiwa bersabda,"hanya dari orang tua yang berbudi luhur lahir anak yang berbudi luhur". Dengan demikian, seorang anak merupakan repleksi dari orang tuanya, dengan kata lain sebagaimana orang tua seperti itulah anaknya.
Sederhananya, jika mendambakan anak yang suputra berarti harus membangun karakter yang luhur pada diri sendiri, memberikan suri tauladan. Untuk itu, kita dapat membentuk karakter anak dalam tiga masa.
Pertama, membentuk karakter diri sendiri selama kita sebagai anak, misalnya selalu menghormati orang tua. Kedua, saat istri hamil. Sebagaimana perilaku orang tua saat istri mengandung, perilaku itu akan membentuk karakter anak. Ketiga, saat anak sudah lahir.
Uraian ini ada kaitannya dengan kisah mahabharata: ketika subadra hamil, Arjuna sudah mengajarkan anaknya tentang cakra wayu. sayangnya, subadra tertidur sebelum arjuna selesai menjelaskan siasat perang cakra vayu, akibatnya kelak anaknya (Abimanyu) mati terbunuh karena tak bisa lolos dari cakra vayu.
Nama Lain Mahadewa di Nusantara
Saat ini film Mahadewa menarik perhatian penonton di Indonesia, banyak masyarakat yang menjadikan film ini sebagai film favorit, sebab film ini bukan sekedar tontonan, tetapi juga tuntunan. Film Mahadewa berkisah tentang permainan rohani Tuhan di kahyangan dan bhumi. Kisah Mahadewa bersumberkan pada kitab-kitab purana, terutama kitb Siva Purana.
Mahadewa menciptakan mahakarya ‘perilaku’ aturan hidup untuk umat manusia yang kemudian akan diikuti ciptaan berikutnya. Dengan bahasa sederhana, permainan apa yang dikisahkan dalam permainan rohani-Nya, itu pula yang akan dialami ciptaan-Nya, seperti jatuh cinta, sedih kehilangan yang dicinta, berumah tangga, memiliki anak, pertapaan.
Disadari atau tidak, kisah Mahadewa juga dikenal dalam masyarakat nusantara, Mahadewa dikenal sebagai Bhatara Guru versi Jawa, Debata Guru [Debata Na Tolu] versi batak dan bugis.
Sayangnya, kisah Mahadewa di Nusantara hanya sedikit, itu pun agak berbeda dari kisah aslinya. Yang masih sesuai disinggung dalam kakawin Arjuna Wiwaha yaitu ketika Mahadewa menjelma menjadi Sang Kirata, memberi anugerah panah Pasupati kepada Arjuna. Kisah ini berasal dari kitab Siva Purana, penggalan kisah awatara Mahadewa menjadi Sang Kirata terdiri dari dua bab. Kemungkinan kisah inilah yang digubah oleh Mpu Kanwa menjadi Kakawin Arjuna Wiwaha. Contoh penggalan Kakawin Arjuna Wiwaha yang menceritakan tentang pertapaan Sang Arjuna, yang juga terdapat dalam kitab Siva Purana:
Stutinira tan tulus sinahuran paramārtha śiwa, anaku huwus katon abhimatān katĕmunta kabeh, hana panganugrahangku caduśakti winimba śara, Paśupati śastrakāstu pangaranya nihan wulati. (Arjuna Wiwaha XII. 102, Mandamalon)
Wuwusira sang hyang īśwara mijil tang apuy ri tangan, wawang aśarīra kātara mangiṇḍitakĕn warayang, tinarima sang Dhanañjaya tikāng śara sūkṣma tika., nganala śarīra sātmaka lawan warayang wĕkasan. (Arjuna Wiwaha XII. 103, Mandamalon)
Krta wara sang Dhanañjaya manembah ati praṇata, pinisalinan laras makuṭa tan hana kālah-alah, winara-warah sirêng aji dhanurdharaśāstra kabeh, kṛta samayang prayoga dadi sūkṣma bhaṭāra śiwa. (Arjuna Wiwaha XII. 104 )
[Sang Kirata berubah wujud menjadi Siwarudra (Mahadewa), Arjuna lalu sembah sujud]
..Belum usai sang Arjuna menyembah bersabdalah Bhatara Siwa yang merupakan tujuan utama semua mahkluk. Sabdanya, “Ananda anak-Ku, sudah sempurna apa yang kau lakukan. Ada penganugrahan-Ku empat ilmu kesaktian berupa panah. Panah Pasupati namanya. Lihatlah anak-Ku!”
Demikianlah sabda Iswara (penguasa alam semesta), lalu dari Tangan-Nya muncul api, api itu berbentuk raksasa yang mengerikan. Kemudian Raksasa itu memberikan sang Arjuna sebuah panah, dan diterima oleh sang Arjuna. Sesudah menerimanya, rakasasa yang mengerikan lalu menghilang dan akhirnya menyatu memasuki panah itu.
Sesudah itu sang Arjuna sembah sujud penuh hormat, lalu memasangkan Gandewa dan tutup gelungnya siap berperang, sekarang menjadi sempurna tiada tercela. Diajarkan berbagai ilmu memanah dan menggunakan berbagai senjata. Setelah usai Arjuna diberikan petuah (mengadakan kesepakatan), lalu Penguasa semesta menghilang.
Meski ceritaya sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya mengacu pada kisah dan sosok yang sama, yaitu Mahadewa menjelma menjadi Sang Kirata dan memberi anugerah panah Pasupati kepada Arjuna. (Jika ada waktu, akan dibuat perbandingan antara kisah berdasarkan kakawin dengan kisah berdasarkan kitab Siva Purana).
Di Nusantara, konsep tentang Tuhan Shiwa, hanya di Bali saja masih sesuai dengan aslinya, dimana Mahadewa adalah Tuhan tertinggi [Prameswara], rajanya para dewa. Hanya saja, dalam ajaran Hindu Bali, beliau lebih dipahami sebagai Paramasiwa, dimana beliau tak terpikirkan [acintya], ada dimana-mana, maha gaib [Hyang Widhi], dll. Padahal, beliau dipahami dalam tiga aspek, yaitu; Siwa Atman/Paramatman (Yang menjadikan mahkluk hidup), Sadha Siwa (Yang berwujud, disebut Iswara, penguasa alam rohani atau surga) dan Paramasiwa (yang tertinggi, tak terpikirkan, ada dimana-mana).
Ketika Dewa Mati
Pada film Mahadewa, dewa Kama mati terbunuh api kemarahan Shiwa akibat mengganggu yoga beliau dengan panah cinta. Lalu pertanyaan, kemanakah Dewa ketika mati?
Pada dasarnya, kehidupan bagi mahkluk hidup seperti manusia adalah sebuah kematian, dengan kata lain apa yang kita anggap sebagai kehidupan sebenarnya adalah kematian, sedangkan kehidupan sesungguhnya adalah setelah kematian [sama seperti ajaran Syek Siti Jenar tentang hakekat kehidupan sejati]
Demikian halnya ketika dewa mati, maka kelahiran dewa di bumi sebagai bentuk kematian. Menurut kitab Siva Purana, dewa Kama yang mati, pada yuga berikutnya akan menjelma sebagai Pradyumna, meski dewa Kama dihidupkan kembali oleh Mahadewa atas keberhasilan pertapaan dewi Ratih, akan tetapi untuk penebusan dosanya harus menjelma sebagai manusia.
* di Bali dewa Kama disebut Sanghyang Kamajaya.
Tuhan Sang Raja Ketampanan
Wujud Mahadewa yang dapat dilihat dengan mata rohani manusia, beliau tampak nyentrik, seperti penggambaran pada film Mahadewa. Akan tetapi, wujud maha tampan beliau hanya diperlihatkan untuk orang yang telah melakukan penyerahan diri secara total, yang telah mampu melampui hal-hal duniawi.
Dalam permainan rohani-Nya, beliau mengajarkan dan menyadarkan manusia, bahwa wujud fisik tidaklah hal utama, dan cepat berubah seiring perjalanan waktu, akan tetapi ketampanan hati akan abadi.
Dengan ketampanan hati, manusia dapat melihat wujud beliau sebagai rajanya ketampanan. Beliau bersinar terang, menarik hati, keindahan-Nya tak terlukiskan. Sayangnya, penggambaran Mahadewa dalam film Mahadewa, ketika beliau menunjukan wujud asli-Nya, tak seindah uraian kitab suci.
Menginginkan Kedamaian, Puja Mahadewa dengan Cinta Bhakti
Ketika pernikahan Mahadewa dengan Parvati (Simbol kembalinya manusia pada Tuhannya), dewi Parvati tak mampu untuk memandang beliau yang Maha Tampan, yang dikenal sebagai Chandrashekar. Oleh karena dewi Parvati tidak memandang beliau maka Tuhan mempermainkan permainan rohani yang lebih menarik.
Ketika Himnares atau himawan mempersembahkan makanan kepada mempelai laki-laki, dengan sombongnya memberikan izin kepada Mahadewa untuk menikmati hidangan sampai puas. Akibatnya, semua makanan yang tersedia di dapur habis tanpa sisa. Para dewa dan masyarakat kerjaaan Himawan kawatir dan berusaha untuk mencari cara menghentikan Mahadewa menyantap semua makanan (simbol Yajna atau persembahan). Untuk menghentikan itu, dewi Parvati menyuapi Mahadewa hanya dengan tiga suap atas dasar cinta bhakti. Mahadewa pun disenangkan, semua makanan di dapur kembali seperti semula.
Makna kisah tersebut bahwa kita diharapkan selalu memuja beliau, selalu ingat dengan-Nya. Tanpa memuja beliau bisa terjadi kekacauan dalam keluarga. Beliau dapat disenangkan dengan pengabdian atau sikap bhakti tulus iklas disertai dengan persembahan atau yajna, korban suci tulus iklas.
Betapapun besarnya persembahan, jika tanpa dilandasi cinta bhakti, kita hanya buang-buang harta, akan tetapi, meskipun sedikit yajna itu, asalkan dilandasi cinta bhakti, beliau akan memelihara apa yang kita miliki, dan memberi apa yang kita butuhkan, seperti dinyatakan didalam Bhagavad Gita 9.22, "...orang yang selalu menyembah-Ku dengan bhakti tanpa tujuan yang lain dan bersemadi pada bentuk rohani-Ku – Aku bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku memelihara apa yang dimilikinya.'
Harta Warisan Anak Perempuan
Ketika acara pelepasan parvati untuk pergi ke kailasha sebagai seorang istri, Himawan dan istrinya memberikan harta kepada anaknya, dewi parvati. Himawan memberikan putrinya harta warisan dari leluhurnya berupa emas, dan harta kekayaan lainnya. Sedangkan Menawati memberikan apa yang dimiliki oleh parvati selama parvati menjadi anak.
Penggambaran kisah ini adalah hak harta yang boleh dimiliki oleh seorang anak perempuan. Menurut kitab Manawa Dharmasastra, anak perempuan berhak atas harta warisan dari orang tuanya sebesar seperempat dari hak waris dari anak lelaki. Menurut kitab Arthasastra, anak perempuan juga mewarisi kekayaan yang dimiliki ibunya.
Selain mendapat harta warisan, anak perempuan juga berhak mendapat harta pemberian dari orang tua sesuai kemampuan orang tuanya, di Bali harta ini disebut 'bekel'. Selain itu, anak perempuan berhak memiliki harta yang dia peroleh dari hasil jerih payahnya sendiri selama dia menjadi anak.
Sebenarnya hak waris wanita dalam ajaran Hindu itu adil, tetapi banyak orang menganggap tidak adil. Jika wanita mendapat warisan yang sama dengan anak laki-laki, justru itu bukan sebuah keadilan, karena kewajiban seorang anak laki-laki jauh lebih besar daripada kewajiban seorang anak perempuan.
Ada yang berpendapat bahwapembagian warisan untuk anak perempuan tidak adil oleh karena sebagian besar orang tua tidak memahami pembagian warisan sesuai ajaran agama.
Namun sebenarnya yang harus memahami pembagian warisan ini adalah anak laki-laki, karena warisan hanya boleh dibagi ketika kedua orang tua sudah meninggal. Anak laki-laki harus memberikan seperempat bagian warisan kepada saudara perempuannya.
Sedangkan tanggung jawab orang tua: pertama,memberikan warisan kepada anak perempuan dari harta warisan nenek atau kakeknya yang sudah meninggal [jika ada warisan]. Kedua, orang tua bertanggungjawab memberi harta sesuai kemampuannya pada saat anaknya menikah. Ketiga, orang tua mengembalikan harta yang dimiliki anak perempuan hasil jerih payah anaknya sendiri, baik yang dia terima dari orang lain maupun hasil kerjanya [jika ada]
Jaman sekarang sudah hampir tidak ada pembagian warisan, yang ada adalah hibah, yaitu pemberian harta orang tua kepada anak-anaknya selagi masih hidup. Meski hal ini dibenarkan kitab suci, tetapi tidak dianjurkan. Pemberian hibah dibolehkan apabila dalam keadaan darurat, misalnya terjadi permusuhan di anatara anak-anaknya yang sudah dewasa.
Pemujaan Parvati di Bali
Jika kita perhatikan sepintas praktek keagamaan di Bali, seakan-akan tidak ada pemujaan terhadap dewi Parvati, akan tetapi jika kita telaah, pemujaan untuk Parvati sangat kental. Parvati di Bali dipuja dalam wujud mengerikan sebagai dewi durga.
Para pemuja dewi Parvati kebanyakan menyimpangkan dan menyalahgunakan kesaktian yang diberikan. Sampai saat ini, orang-orang yang belajar ilmu leak, tantra, dicap belajar ilmu hitam atau aliran kiri, padahal tidak demikian. Ilmu leak jika diterapkan sesuai dengan kebajikan juga sebagai jalan pembebasan atau moksa.
Selain dipuja oleh orang yang belajar leak, Parvati juga dipuja masyarakat umum dalam wujud rangda atau durga/mahakali. Parvati berwahana singa/macan, di Bali dikenal Barong. Oleh karena itu, Rangda selalu diikuti Barong. Rangda dan Barong sampai saat ini masih disakralkan dan dipuja masyarakat Bali.
Baca juga Galungan, Hari Raya Pemujaan Dewi Parvati
Rsi Gautama, Ajarannya Pernah Diplintir Umat Muslim
Masih ingat dengan kisah Rsi Gautama dalam film Mahadewa? Ya beliau salah satu orang suci yang mendapat karunia dari Mahadewa. Nama istri Rsi Gautama adalah Ahalya yang taat memuja Mahadewa.
Rsi Gautama merupakan penulis kitab Gotama Smerti (Gautama Smriti), salah satu kitab hukum Hindu dari 19 kitab hukum Hindu (Dharmasastra).
Gotama Smerti pernah populer dikalangan umat Islam di Indonesia, hal ini terjadi lantaran salah satu sloka dari kitab ini diplintir dan dicantumkan pada mkadimah (pembukaan) kitab suci Alquran. Padahal kitab ini dikeluarkan Departemen Agama Republik Indonesia (1984/1985), dimana Dewan Penterjemahnya ditetapkan melalui SK. Mentri Agama RI Nomor 26 tahun 1967.
Sloka yang diplintir berbunyi sebagai berikut:b"Apabila orang Sudra kebetulan mendengarkan Kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor timah dan malam dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda, maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha untuk membaca Weda, maka raja harus memotong badannya."(Gotama Smrti:12.4-6).
Bunyi sloka yang benar sebagai berikut:
"atha hāsya vedam upaśṛṇvatas trapujatubhyāṃ, śrotrapratipūraṇam udāharaṇe jihvāchedo dhāraṇe śarīrabhedaḥ, āsanaśayanavākpathiṣu samaprepsur daṇḍyaḥ, śataṃ kṣatriyo brāhmaṇākrośe" (Gautama Smerti 12:4-6)
"Bagi warna sudra (para pekerja) yang ingin mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik yakni dengan mendekatkan pendengarannya mulai dari awal pengertian-pengertian, bahasa dan ucapannya dengan menutup pengaruh dari luar, badan duduk dengan tenang (asana) ditempat belajar dan ucapan diulang-ulang terus menerus sampai akhir"
Kenapa departemen agama seceroboh itu memelintir sloka seperti itu sehingga umat Hindu menanggung malu gara-gara sloka tersebut dipelintir oleh lembaga resmi?.
Dulu, saya pernah mencoba menelusuri sumber kutipan tersebut, ternyata berasal dari karya ilmiah seorang muslim India (saya membacanya dalam bentuk PDF, tetapi sekarang sudah tak ditemukan). Kemungkinan, orang India ini sengaja memelintir sloka tersebut untuk melemahkan keimanan umat Hindu di India, dan misi itu pun dibawa ke Indonesia untuk menghancurkan keimanan umat Hindu terhadap ajaran agamanya.
Pemutaran Gunung Mandara, Dikenang dan Dipuja dalam Bentuk Padmasana
Sudah berminggu-minggu tak menonton Mahadewa, malam ini tumben saya nonton lagi, nonton di kamar kost teman. Maklum, HP TV saya mati, TV juga sudah mati. Jadi, tak pernah mengulas makna-makna film Mahadewa.
Pada episode 93 film Mahadewa, berkisah tentang pemutaran gunung Mandara (Mandara Giri) yang dilakukan oleh para dewa dan asura untuk mendapatkan tirta amertha, air suci kehidupan. Kisah singkatnya sebagai berikut:
Pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (iblis) bersidang untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Para Dewa dan para Iblis diperintahkan dewa Wisnu untuk mengaduk lautan Ksera (Kserasagara).
Setelah mendengar perintah dewa Wisnu, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Disana terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara. Setelah mendapat izin dari dewa Baruna, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan. Seekor kura-kura (kurma avatara, penjelmaan dewa Wisnu) bernama Akupa, menjadi dasar pangkal gunung. Kura-kura (kurma) menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Raja naga Vasuki (Basuki) dipergunakan sebagai tali, membelit gunung mandara. Setelah siap, para Dewa dan asura mulai memutarnya. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak iblis kepanasan.
Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun itu dapat membunuh segala makhluk hidup. Mahadewa kemudian meminum racun tersebut hingga lehernya menjadi biru dan beliau kemudian disebut Nilakantha.
Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, seperti; Apsara (bidadari kahyangan), Kostuba (permata), Uccaihsrawa (kuda), pohon Kalpawreksa, Kamadhenu (sapi pertama dan ibu dari segala sapi), Airawata (Gajah, kendaraan Dewa Indra), Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran. Dan terakhir keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Dan menjadi rebutan para Dewa dan para Iblis. Tiga orang iblis mencuri tirta amertha, dewa wisnu menyamar menjadi Mohini untuk mengambil kembali tirta amertha yang telah dicuri, mereka digoda. Pada akhirnya, tirta amertha dapat diminum oleh para dewa, dan oleh satu iblis, yaitu raja Bali. [Jika dilanjutkan kisahnya, raja Bali menjadi angkuh, dan dia dikalahkan oleh si cebol, penjelmaan dewa Wisnu]. Demikain kisah singkatnya.
Kisah ini, di Indonesia, khususnya di Bali, dikenang dengan pembuatan Padmasana pada setiap pura-pura besar, pura kahyangan jagat, terutama pura Jagat Nata. Bentuk Padmasana merupakan reflika kisah di atas.
Pada bagian bawahnya berbentuk kura-kura dililit ular naga, kura-kura menopang reflika gunung. Pada bagian tengah bertingkat, berukir, terdapat gambar bidadari bersayap. Pada bagian atas terdapat satu rong, pada bagian ini terdapat reflika Mahadewa dalam nama rupa Sanghyang Acintya (beliau yang tak terpikirkan).
Mahabharata: Tradisi Mengganti Nama Suami Istri
Ketika Panca Pandawa dalam pengasingan pada tahun ke dua belas, mereka wajib bersembunyi hingga tak ada yang mengenali. Untuk itu, mereka melakukan penyamaran dengan mengganti nama mereka masing-masing dan melakukan kewajiban sebagai masyarakat biasa.
Sebelum melakukan penyamaran, Yudistira bersikukuh tak akan pernah berbohong jika ada yang menanyakan namanya, dia akan tetap menjawab bahwa dia adalah Yudistira. Menurutnya, sekali berbohong sama dengan berbohong berulang kali, meski dalam keadaan darurat sekalipun.
Drupadi menjelaskan, sesuai tradisi bahwa suami istri boleh mengganti nama asli mereka dengan nama samaran. Suami-suami Drupadi pun mendapat nama baru, kecuali Arjuna. Dengan cara itu, Yudistira tak dianggap berbohong dengan menggunakan nama barunya.
Tradisi ganti nama suami-istri, juga dipraktekan dalam masyarakat Hindu Bali, karena seseorang yang sudah berkeluarga tidak boleh dipanggil sesuai nama aslinya. Hal ini sesuai dengan petunjuk kitab suci, seperti disebutkan, “Seorang istri yang baik tidak akan pernah menyebut nama suaminya (nama mudanya). Jika sang suami memarahinya, maka dia tidak boleh membalas menyakiti hati suaminya. Bahkan jika dia disakiti dia akan tetap diam dan dengan senang hati hati berkata’Hamba boleh anda bunuh sekalipun. Berkenanlah kepada hamba’” (Siva Purana, Rudresvara Samitha, Parvati Kanda).
Seiring perubahan jaman, tradisi itu mulai hilang. akan tetapi di desa saya masih tetap eksis. Ketika sudah menikah dan memiliki anak, maka nama orang tua mengikuti nama anak pertama. Contoh: jika anak pertama namanya Lontong, maka nama bapaknya Pan Lontong, Gurun Lontong [jika sudah diupacarai, inisiasi] sedangkan ibunya diberi nama Men Lontong.
Di desa tetangga lain lagi, nama baru suami diikuti nama istri. jika nama baru suaminya Gurita, maka nama istrinya Ni Gurita/ Luh Gurita.
Pertanyaan:
Sesuai penjelasan diatas, pertanyaannya kemudian apa berarti tradisi "penggantian" nama di Bali setelah berkeluarga mengikuti tradisi dalam Itihasa Mahabharata? jika dalam Mahabharata, bukannya setelah pengasingan maka Panca Pandawa akan kembali menggunakan nama sebelumnya, sedangkan nama panggilan setelah berkeluarga akan berubah juga setelah 12 tahun?
Jawaban:
Panca Pandawa selain semasa pengasingan ke 13 memiliki nama samaran, mereka juga memiliki nama lain. Mislanya Bima, nama lainnya Wrekudara. Arjuna nama lainnya Dhananjaya, Drupadi nama lainnya Phancali. dewi Kunti sendiri itu bukan nama aslinya (nama aslinya dewi Prtha/ dewi prita).
Tradisi ganti nama sebenarnya ini ada beberpa jenisnya. Yang paling wajib adalah ganti nama setelah mendapat diksa brahmana, di Bali setelah menjadi sulinggih (Pendeta suci). di Bali tidak ada sulinggih yang menggunakan nama asli, karena beliau sudah lahir dua kali, sehingga wajib hukumnya mendapat nama baru.
Sebenarnya demikian juga orang yang menikah, terutama seorang istri. seorang istri dianggap lahir 3 kali, salah satunya lahir sebagai anak dari ibu barunya (mertua).)
Ramayana: Gurukula, Sistem Pendidikan Hindu
[Pesantren, Tradisi Hindu Dilestarikan Umat Islam Indonesia]
Dikisahkan, keempat putra Dasarata sudah memasuki masa pendidikan. Mereka diasramakan di asrama Maha Rsi Wasista. Setelah dilakukan upacara Upanayana, putra-putra Dasarata dilarang untuk bertemu keluarganya (kecuali meminta sedekah), dilarang menggunakan kendaraan dan wajib tinggal di asrama. Mereka diperlakukan sama dengan siswa lainnya, mendapat biaya pendidikan dari hasil meminta sedekah.