[caption id="attachment_210256" align="aligncenter" width="559" caption="Canang Sari-Sarana Persembahyangan dan Sejumput Nasi Persembahan (cakepane.blogspot.com)"][/caption]
Om Namah Shiwa Ya
Adakalanya orang yang bukan penganut Veda beranggapan bahwa orang Hindu,Khusunya masyarakatHindu di Bali itu orang-orang yang sangat boros. Seperti membuat ritual-ritual/upakara-upakara yajna yang besar hingga ratusan juta, bahkan miliaran sehingga hal ini dianggap mubazir.
Contoh misalnya yang kecil saja; sehabis masak biasanya orang Hindu membuat persembahan, yang biasa disebut banten saiban yang kadang disebut ngejot, dengan mempersembakan beberapa jumput nasi. Menurut keyakinan orang Hindu persembahan itu dipersembahkan untuk Tuhan, Dewa-dewi dan Jiwa-jiwa agung lainnya atau dengan bahasa yang lebih sederhana sebut saja memberi Tuhan makan. Lalu pertanyaannya apakah Tuhan Makan? Yang ada malahan hanya semut yang ramai makan nasi tersebut dan juga beberapa binatang kecil lainnya, bahkan juga kucing dan anjing.
****
Menanggapi pernyataan yang demikian sebenarnya hanya dibutuhkan sedikit uraian. Dengan cara pandang yang sederhana. Boros atau tidak boros dalam beragama tergantung penganutnya, “hal yang demikian tidak bisa dirasiokan secara kasat mata. Karena kehidupan beragama Hindu sesungguhnya dasarnya adalah ketulusan hati” (Ketut Subagiasta,2006:26). Umat Hindu tidak perlu bertindak gegabah dengan memvonis langsung bahwa beragama Hindu sulit, beragama Hindu boros, beragama susah, dan lain-lainya (Ibid).
Namun, menurut saya apabila yajna atau korban suci tidak dilandasi oleh keiklasan maka hal ini dianggap boros sebab akan kehilangan pahala, terlebih lagi hanya karena pamer. Yajna yang besar dan meriah apabila dilaksanakan oleh orang kaya atas dasar ketulusan hati, hal ini tidak dapat dikatakan boros. Sebaliknya, Apabila yajna yang besar dilaksanakan oleh orang yang hidup pas-pasan tetapi berlandaskan rasa bangga dan pamer hal ini tentu dapat dikatakan boros. Karena yajna yang dibuat akan sia-sia dan mubazir “tidak berpahala”. Besar kecilnya pahala Yajna bukan ditentukan oleh besar kecilnya Yajna tetapi ditentukan sejauh mana keiklasan seseorang dalam melaksanakaan Yajna (korban suci).
Dasar hukum pelaksanaan Yajna ditemukan di berbagai literatur Hindu. Seperti misalkan didalam kitab-kitab Brahmana, Grya Sutra, Kalpasutra, Siwa Purana, Bhagavata Purana dll.
Dasar-dasar aturan beryadnya juga dimuat didalam Bhagavad Gita, seperti sloka berikut “Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah, atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya” {Bhagawad Gita IX. 26}. Selanjutnya dinyatakan “Apapun yang engkau lakukan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai sumbangan serta pertapaan dan apapun yang engkau lakukan-lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan kepada-Ku, wahai putera Kunti” {Bhagavad Gita IX.27}. Dikatakan pula “Dengan cara seperti ini engkau akan dibebaskan dari ikatan terhadap pekerjaan serta hasil yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dari pekerjaan itu. Dengan pikiran dipusatkan kepada-Ku dalam prinsip pelepasan ikatan ini, engkau akan mencapai pembebasan dan datang kepada-Ku” {Bhagavad-gita IX.28}.
Berdasarkan waktu pelaksanaannya, yajna dikelompokan ke dalam yajna yang dilakukan sehari-hari ( nitya karma ) dan yajna yang dilakukan sewaktu-waktu ( naimitika karma ). Salah satu dari beberapa nitya karma adalah Yajna Sesa yaitu persembahan berupa makanan yang berupa sejumput nasi yang biasanya dipersembahkan seperti di tempat beras, ditempat menumbuk beras, di tungku dapur, di pintu keluar pekarangan (lebuh) dan tempat lainnya yang dianggap penting untuk persembahan tersebut.
Persembahan makanan seringdianggap keliru dan dianggap sebagai pemborosan oleh beberapa orang yang bukan penganut Veda bahkan oleh orang Hindu sendiri. Sering dianggap bahwa persembahan tersebut hanya memberi makan untuk semut dan binatang lain pemakan nasi.
Persembahan nasi yang kemudian sisa-sisanya dimakan semut, ini sebenarnya tindakan yang sangat mulia, meski tampak keliru. Didalam kitab Sarasamuscaya disebutkan apabila seseorang ingin bahagia maka bahagiakanlah makluk lain. Membahagiakan mahkluk bumi lainnya disebut Bhuta Hita. Dengan memberi makan semut berarti kita telah membahagiakan mereka (semut) selain kita mempersembahkannya kepada mahkluk penjaga Bhumi dan juga Jiwa-jiwa agung lainnya serta para Dewa dan Tuhan.
Apabila pemberian makan untuk semut dikaitkan dengan kelangsungan mahkluk hidup, hal ini merupakan suatu hal yang ilmiah. Menurut penelitian, bahwa dengan memberi semut makan di sekitar sawah maka beberapa hama padi tidak dapat berkembang. Karena beberapa hama takut dengan semut dan hama itu adakalanya dimakan semut. Disinilah perlunya menjaga ekosistem agar tercipta keharmonisan. Saling menjaga antara mahkluk hidup yang satu dengan mahkluk hidup lainnya.
Kembali pada persoalan persembahan Nasi. Alam semesta ini sebenarnya milik Tuhan, demikian juga dengan bumi dan hasil bumi adalah milik Tuhan, maka wajib hukumnya mempersembahkannya kepada Tuhan.
Dalam hukum nasional setiap jengkal tanah sebenarnya adalah milik Negara, sehingga setiap orang yang hidup diatas wilayah suatau Negara harus membayar pajak untuk kesejahteraan masyarakat. Demikian juga berlaku dengan alam semesta, yang sebenarnya semua ini adalah milik Tuhan sehingga wajib hukumnya manusia mempersembahkan hasil bhumi kepada Tuhan, terutama berupa makanan. Mereka yang memakan makanan sebelum dipersembahkan dikatakan sebagai pencuri.
“Para dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (korban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu.Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan pasti adalah pencuri” {Bhagavad-gita 3.12}.
“Para penyembah Tuhan dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang lain, yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja” {Bhagavad-gita 3.13}.
“Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dari dosa”(Manawa Dharmasastra III.117).
Dalam sloka lainnya, ditentukan ada lima tempat yang utama sebagai tempat mempersembahkan sejumput nasi, seperti di dapur, air, tempat alu, tempat beras, dan talenan. Dengan mempersembahkan nasi pada tempat – tempat itu seseorang dibebaskan dari dosa akibat dari kesalahan dalam mencari bahan makanan dan dalam proses memasak.
Didalam Mahabharata ada juga sebuah cerita yang sangat erat kaitannya dengan hal persembahan kepada Tuhan dengan makanan atau memberi Tuhan makan.
Diceritakan ketika sekelompok Brahmana hendak bertamu ke tempat Drupadi (Istri Pandava). Sebelum mereka bertamu, mereka sudah memberitahu Drupadi bahwa mereka akan bertamu setelah mereka selesai mandi di sungai.
Ternyata saat itu Pandava sedang tidak memiliki bahan makanan (beras ). Menurut ajaran Hindu tamu dihormati bagaikan Dewa. Didalam kitab suci dikatakan Tamu itu dapat mengantarkan seseorang ke alam surga kelak. Oleh karena itulah Drupadi merasa berkewajiban mepersembahkan makanan kepada tamunya. Terlebih lagi yang akan bertamu adalah Brahmana yang agung, apabila ia marah, Drupadi bisa dikutuk apabila tidak menghormati tamunya dengan menyediakan makanan.
Saat Drupadi (istri pandawa) dalam kebingungan karena tidak memiliki bahan makanan, kemudiaan ia memohon kepada Tuhan agar diberi jalan keluar, Drupadi takut kalau nantinya dikutuk oleh Brahmana tersebut. Dalam keadaan bingung memikirkan hal itu, Ketika itulah datang Shri Kresna (awatara Tuhan) dan mempertanyakan apa sebabnya Drupadi kebingungan. Diceritakanlah masalah yang dihadapi kepada Shri Kresna.
Shri Kresna kemudian menyuruh Drupadi untuk mengambil sedikit beras di tempat penyimpanan berasnya. Ternyata masih tinggal satu butir beras saja yang ada disana dan itu diberikan kepada Shri krsna. Kemudian Shri kresna tersenyum dan menelan sebutir beras tersebut.
Sungguh ajaib, para Brahmana yang sudah selesai mandi di sungai yang segera akan bertamu ke rumah Drupadi, tiba-tiba mereka semua merasa kenyang. Karena Shri kresna telah menjadikan orang-orang lapar menjadi kenyang oleh karena persembahan sebutir beras. Sehingga para Brahmana tidak jadi bertamu ke rumah Drupadi.
Jadi kesimpulan dari cerita tersebut, pertama; seseorang itdak boleh menghabiskan beras di penampungan beras, harus ada sisa disana. Kedua; persembahan kepada Tuhan wajib hukumnya meski hanya beberapa jumput nasi karena dengan demikian semua mahkluk dapat berbahagia.
Demikianlah betapa pentinya mempersembahkan makanan kepada Tuhan karena dengan demikian kesejateraan bersama dapat dicapai. Tuhan akan mengelola persembahan yang diberikan oleh umat-Nya untuk kesejahteraan orang banyak.
Intinya bahwa Tuhan tidak makan, meski seolah-olah Tuhan itu diberi makan. Tuhan hanya mengelola apa yang dipersembahkan oleh seseorang dan kemudian diperuntukan kepada orang lain yang membutuhkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persembahan itu “dari kita untuk kita, demi kesejahteraan kita”.
Om Tat Sat
Baca Pula Bersahabat dengan Tuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H