[caption id="attachment_211926" align="aligncenter" width="585" caption="Suami: Kamu Masih Perawan Nggak sayang?. Istri: Sudah Nggak Pa!. Suami: Sekarang Kita Cerai. (www.terkonyol.blogspot.com)"][/caption]
Om Namah Shiwa Ya
Bupati Garut Aceng Fikri tengah menjadi sorotan publik. Semuanya berawal dari tindakannya yang menikahi Fani Oktora (18) secara siri. Tapi, yang menjadi pergunjingan tak lain karena sikap Aceng yang menceraikan Fani, hanya 4 hari setelah dinikahi (detik.com, Rabu 28/11/2012).
Sang Bupati menceraikan Fani Oktora lantaran sudah tidak perawan, Akhirnya dia memberi talak tiga kepada Fani yang artinya bercerai (detik.com, Loc.Cit). “Parahnya lagi, Aceng menceraikan FO melalui pesan singkat”( forum.detik.com, 2012). Namun, menurut pengakuan Fani, ia “masih perawan dan tidak pernah bergaul dengan lelaki lain”(arrahmah.com, 2012). Kasus-kasus seperti ini, bukan barang baru. Apabila ditelusuri kita dapat menemukan banyak kasus yang serupa. Bahkan juga terjadi di luar negeri seperti di Negara Georgia.
Dari kasus tersebut tampak terang bahwa seorang istri yang tidak perawan dapat diceraikan. Mungkin sulit diterima bagi masyarakat modern yang sudah tak lagi menganggap perkawinan itu sacral. Namun, kitab suci telah memberi aturan tegas mengenai hal ini, seperti dinyatakan didalam kitab Arthasastra.
Pengantin wanita yang tidak perawan pada saat pelaksanaan pernikahan, dendanya adalah lima puluh empat pana, dan (gadis itu ) hendaknya mengembalikan mas kawin dan biaya perkawinan. (Kautilya Arthasastra, IV.12.87.15)
Sloka tersebut bersifat delik aduan, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban. Korban yang dimaksud terkait dengan sloka diatas adalah suami. Gugatan untuk menghukum Istri yang ternyata tidak perawan hanya dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu.
Dalam pasal 87 KUHPerdata ada dinyatakan bahwa “Keabsahan suatu perkawinan, yang berlangsung tanpa persetujuan bebas kedua suami-istri atau salah seorang dari mereka, hanya dapat dibantah oleh suami-istri itu, atau oleh salah seorang dari mereka yang memberikan persetujuan secara tidak bebas. Bila telah terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh suami atau istri yang telah khilaf itu. Dalam hal-hal tersebut dalam pasal ini, tuntutan akan pembatalan suatu perkawinan tidak boleh diterima, bila telah terjadi tinggal serumah terus-menerus selama tiga bulan sejak si suami atau istri mendapat kebebasan, atau sejak mengetahui kekeliruannya”.
Memberi sanksi denda atau hukuman istri yang tidak perawan bukan ditentukan oleh suami (main hakim sendiri), melainkan diputuskan oleh hakim, dalam hal ini Brahmana Vipra, serupa dengan bunyi pasal 80 KUHPerdata “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim.”.
Terkait dengan sloka Kautilya Arthasastra IV.12.87.15 yang berbunyi “Pengantin wanita yang tidak perawan pada saat pelaksanaan pernikahan, dendanya adalah lima puluh empat pana, dan (gadis itu ) hendaknya mengembalikan mas kawin dan biaya perkawinan.” Dari ketentuan sloka tersebut akan muncul banyak pertanyaan, seperti misalnya: (1) Apaka seorang yang sudah janda/duda boleh menikah? (2) bagaimana penerapan hukum ini di zaman sekarang? (3) Bagaimana apabila wanita yang diperkosa? (4) bagaimana apabila kedua-duanya tidak perjaka/perawan? ( 5) Apakah dalam pernikahan dalam masyarakat Hindu di Indonesia adamas kawinnya? Apabila tidak, mas kawin itu dicari dimana. Masih banyak pertanyaan yang timbul apabila aturan itu diterapkan. Saya akan mencoba menjelaskan secara singkat dari pertanyaan-pertanyaan diatas.
(1)Menurut lontar “tutur lebur gangsa”, orang janda dan duda tidak boleh menikah. karena sebenarnya perceraian itu dilarang sehingga sanksinya tidak dibenarkan untuk menikah kembali. selain itu didalam kitab Siwa Purana dinyatakan bahwa mantra-mantra veda tidak boleh digunakan untuk upacara perkawinan bagi mereka yang sudah tidak suci "tidak perawan" .
“apabila janda diambil jejaka, jejaka diambil janda, janda kawin sama duda, maka akan mendapat hukuman. Selalu ada masalah dengan dirinya, selalu mendapat celaka” (Taksu 164, 2006:53). Untuk mengatasi hal-hal tersebut dan menghindari celaka yang mengancam maka biasnya seorang yang menikah sudah duda atau janda diwajibkan untuk membuat ritual khusus.
(2)Penerapan hukum seperti sloka Arthasastra diatas, jaman sekarang mengalami kesulitan. Mengingat bagi sebagian masyarakat kita, sudah terlanjur dilanggar sehingga dianggap hal yang biasa padahal sudah merupakan pelanggaran hukum agama yang luar biasa.
Kitab suci memang telah meramalkan keadaan masyarakat pada jaman Kali/Kali Yuga seperti yang telah terjadi seperti sekarang ini. Sastrawan-sastrawan Jawa Kuno menyebutnya sebagai jaman edan. Seperti yang dikatakan didalam ramalan Jayabaya “Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi’ artinya masyarakat atau banyak orang yang sudah tidak lagi menghiraukan hukum Tuhan. ‘Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya’ hal ini menunjukan banyak orang yang melahirkan anak diluar perkawinan yang sah. ‘Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang’, selain banyak melanggar hukum Tuhan, juga menentang agama dan orang-orang yang beragama. ‘Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana’. ‘Akeh anak haram---Banyak anak haram’” demikianlah ramalan keadaan jaman sekarang yang telah diprediksi sejak jaman bahula dan itu sudah menjadi kenyataan.
Kita tak hanya prihatin atas apa yang terjadi sekarang ini, namun yang lebih penting agar kita selalu eling lan wospodo. Seperti pesan Raden Mas Ngabehi Ranggawarsita. “….Begja-begjaning kang lali, Luweh begjo kang eling lan waspada; sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada” (Serat Kala Tida: Syair 7).
(3)Apabila wanita tidak perawan karena diperkosa tidak menjadi masalah bagi suami asalkan sebelum menikah diberitahukan kepada mempelai laki-laki bahwa ia sudah tidak perawan lagi karena diperkosa dan jika telah lewat (minimal) sekali haid dari kejadian tersebut. ika memang dahulunya si isteri pernah berzina, dan kini telah taubat dan menyesal, dalam keadaan dahulu dia masih bodoh dan tidak tahu, lalu setelah tahu dia bertaubat dan menyesal, maka ini juga tidak sepatutnya menjadi masalah bagi suami dan tidak boleh bagi suami menyebarkan aibnya, bahkan jelas kejujuran taubat dan hendaklah tetap mempertahankannya sebagai istri.
(4)Calon suami maupun calon istri yang kedua-duanya sudah tidak perawan diharuskan untuk melakukan penebusan dosa (taubat) terlebih dahulu. Didalam Parasara Dharmasastra ada ketentuan bahwa orang yang berdosa harus melakukan penebusan dosa untuk mengurangi dosa yang telah diperbuat. Misalnya karena seks diluar nikah, seseorang harus mandi suci di 11 sumber mata air. Salah satu sumber mata air di Bali yang biasa digunakan untuk melukat yaitu di Pura Tirta Empul, dan masih banyak lagi pura yang ada sumber airnya, seperti pura Batukaru, dll.
Selain itu di bali ada juga upacara penebusan dosa (sebelum upacara perkawinan) bagi mereka yang menikah sudah hamil duluan. Perlu diketahui juga, perkawinan yang belum diupacarai mengakibatkan “cuntaka” bagi pasangan suami-istri (seperti; tidak dibenarkan untuk masuk ke pura, tidak dibenarkan membaca kitab suci dll).
(5)Dalam perkawinan masyarakat Hindu di Indonesia, pemberian mas kawin tidak jelas dalam prakteknya. Namun ternyata dikemas dalam bentuk yang berbeda. Di Desa saya ada disebut istilah “metipat bantal” yaitu ritual dengan pemberian ketupat dan jajan bantal kepada keluarga perempuan. Dulu , apabila keluarga pihak perempuanbanyak, maka "tipat bantal" ini bisa mencapai satu kwintal. Dalam memberikan “tipat bantal” ini dengan berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya yang masih termasuk keluarga besar perempuan. Metipat bantal ini sekarang sudah di sederhanakan. Tidak lagi dengan membawakan ketupat bantal dari rumah ke rumah, melainkan keluarga perempuan dikumpulkan kemudian dibagi-bagikan “tipat bantal” kepada mereka. Kalau di-uangkan bisa mencapai 500ribu - 1 jutaan, ditambah lagi memberi makan kerabat keluarga besar yang mencapai ratusan KK.
Memberi makan kepada orang lain maupun mensedekahkan makanan ketika melaksanakan suatu hajatan maupun ritual yadnya juga memiliki dasar hukum. Didalam kitab suci dikatakan apabila melaksanakan suatu “yadnya” tanpa mempersembahkan makanan kepada orang lain, maka yadnya tersebut tidak akan memberikan pahala alias akan sia-sia, demikian juga halnya dalam hal upacara perkawinan. Maka tidaklah mengherankan apabila ketika ada upacara perkawinan mengundang sanak keluarga hingga ratusan KK bahkan ribuan orang.
Intinya keagamaan di Bali memang tampak berbeda dengan India tetapi sebenarnya kalau kita mau menelusuri penerapan hukum agama itu sebenarnya cukup mendasar pada kitab suci, hanya saja dikemas dalam budaya yang berbeda.
Jaman sekarang pelanggaran terhadap hukum agama itu memang sudah diambang batas. Misalnya hukum perang; agama tidak membenarkan perang di malam hari, agama tidak membenarkan perang main serbu (harus 1 lawan 1), persenjataan harus sama; pedang lawan pedang, tombak lawan tombak, tangan kosong lawan tangan kosong. Perang harus di tempat kusus, dalam perang wanita harus dilindungi, anak-anak dan orang tua harus dilindungi. Musuh yang sudah menyerah atau sudah tidak berdaya harus dilindungi.
Om Tat Sat
Bersambung…
Baca pula Sandal yang Baik Mengangkat Martabat Pemakainya
I Ketut Mertamupu www.kompasiana.com/mertamupu.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H