Salah satu penyimpangan seksual yang menjadi isu hangat di berbagai belahan dunia adalah perilaku homoseksual, terutama setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2015 memutuskan bahwa kaum gay boleh menikah. Beberapa negara lainnya pada tahun sebelumnya juga melegalkan pernikahan sejenis yang kontroversial itu, seperti Belanda (2001), Norwegia (2009), Inggris (2013), Skotlandia (2014), dan negara lainnya.
Penyimpangan perilaku homoseksual dalam lingkup lebih luas populer dengan istilah LGBT, singkatan dari Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender. Dalam lingkup khusus, yang termasuk homoseksual yaitu lesbi (homoseksual yang dialami kaum wanita) dan gay (homeskual yang dialami laki-laki). Menurut wikipedia, homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama.
Agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen menganggap homoseksual sebagai perbuatan keji dan dosa besar, hukuman yang dijatuhkan pada mereka yaitu hukuman mati atau diusir keluar kota. Dalam pandangan Islam, kaum homoseksual disebut kaum Luth.
Dalam pandangan agama Budha perilaku homoseksual masih abu-abu, tetapi sebagian besar para bhikku menolak pernikahan sejenis. Menurut Bhikkhu Uttamo Mahathera, seperti dikutip dari situs Bodhi Buddhist Centre Indonesia, berpendapat bahwa seseorang yang berprilaku seksual menyimpang (Homoseksual, red) bisa saja mengikuti Buddha Dhamma. Karena ia juga memiliki hak untuk itu. Kita harus mengerti bahwa penyimpangan pada dirinya adalah bagian dari keputusan pribadinya, sedangkan pemilihan Buddha Dhamma juga merupakan keputusan pribadinya yang lain. Memang idealnya, setelah ia mengenal Dhamma, lambat laun, ia akan memperbaiki prilakunya sehingga hilanglah kebiasaan yang dikatakan oleh lingkungannya sebagai prilaku yang menyimpang itu.
Bhikku Uttamo Mahathera juga menjelaskan, perilaku homoseksual termasuk melanggar Sila ke 3, yaitu melakukan perbuatan asusila yang maksudnya adalah melakukan pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang. Apalagi jika yang ditekankan disini adalah 'umat berkeluarga', karena bagi umat yang berkeluarga, hanya boleh melakukan hubungan seksual dengan pasangannya yang resmi telah dinikahinya, maka seorang pria hanya boleh berhubungan seksual dengan istrinya.
Lalu, bagaimana pandangan ajaran Hindu (dharma) tentang homoseksual? Ada yang berpendapat bahwa homoseksual tidak bertentangan dengan Dharma, seperti diulas dalam sebuah fanpage berlabel Hindu di media sosial. Ia mengutip dari berbagai referensi di internet, salah satu kutipan yang sudah diterjemahkan, pernyataannya sebagai berikut; seseorang yang hidup dengan pengabdian penuh belas kasih, meskipun itu seorang LGBT atau tidak, dan telah menguasai keinginan dan dorongan nafsu (seksual dan lain sebagainya) memiliki kemampuan dan kemungkinan yang sama untuk mencapai Moksha. Sebaliknya siapa saja yang menjadi budak keinginan dan nafsu tidak akan mencapai Moksha. Dengan demikian, Ajaran Hindu tidak mendiskriminasi orang LGBT dalam kemampuan atau kemungkinannya untuk mencapai Moksha. Dalam sastra suci Sruti tidak ada tulisan yang mendukung untuk memperlakukan orang LGBT sebagai inferior atau mendukung penindasan terhadap mereka.
Pernyataan tersebut dimaknai bahwa seorang LGBT, dalam konteks ini bahwa homoseksual (lesbi dan gay) berhak untuk mencapai moksa dan tidak ada penjatuhan hukuman terhadap mereka, merujuk pada kitab suci Veda sruti yang tidak mengatur perilaku homoseksual. Jika dicermati maksud dari penjelasan tersebut bahwa seorang LGBT juga berhak untuk mencapai moksa apabila ia kembali ke jalan dharma; menjalankan hidup dengan pengabdian penuh belas kasih dan telah menguasai keinginan dan dorongan nafsu seksual.
Selain itu, salah satu kutipan yang menarik untuk dicermati yaitu pandangan orang suci Hindu, Shri Sri Ravi Shankar. Beliau berpendapat, “Homoseksualitas tidak pernah dianggap sebagai kejahatan dalam ajaran Hindu. Bahkan, deva Ayyappa lahir dari Hari-Hara (Wisnu dan Siwa). Jadi ini tidak disebutkan merupakan sebuah kejahatan dalam sastra suci Smriti. Setiap orang memiliki unsur laki-laki dan perempuan. Menurut dominasi mereka, kecenderungan akan muncul dan bisa berubah. Tidak ada yang harus menghadapi diskriminasi karena preferensi seksual mereka. Dicap penjahat oleh karena ini tidak masuk akal." Demikian pendapat seorang guru suci dari India tehadap eksistensi homoseksual, lebih luas tentang Lesbi, Gay, Biseksual dan Trasgender (LGBT). Pendapat tersebut perlu diberikan penjelasan untuk menghindari abiguitas, penafsiran ganda, multi tafsir.
Pertama, penyimpangan seksual yang dilakukan kaum homoseksual memang bukan kejahatan, akan tetapi hal itu tetap sebagai perbuatan dosa yang ditanggung oleh pribadi masing-masing. Ajaran Hindu tidak membenarkan pernikahan diantara pria dengan pria (gay), wanita dengan wanita (lesbi). Dengan kata lain, pelaku penyimpangan seks (homoseksual) tidak diberikan hak untuk mendapat upacara pernikahan atau upacara perkawinan dengan puja mantra Veda.
Kedua, kelahiran dewa Ayyappa. Ada beberapa versi tentang kelahiran-Nya. Salah satu versi menyebutkan bahwa dewa Ayyapa merupakan putra spiritual dari dewa Wisnu dan dewa Siwa. Kelahiran dewa Ayyappa tidaklah lahir dari dewa dengan dewa atau Hara dengan Hari, melainkan dewa Wisnu menjelma menjadi Mohini yaitu wanita yang sangat memikat. Dari pertemuan dewa Siwa dengan Mohini (perwujudan dewa Wisnu) maka lahirlah secara spiritual dewa Ayyappa.
Kelahiran dewa Ayyappa adalah untuk membunuh raksasa atau iblis Maheshi, adik dari Mahesasura. Ia mendapat anugerah dari dewa Brahma bahwa tidak akan mampu dibinasakan oleh siapapun, termasuk oleh para dewa, raksasa, dan mahkluk spiritual yang superior lainnya. Akan tetapi berkah itu ada pengecualiannya, bahwa Maheshi hanya bisa dibinasakan oleh putra spiritual dari pertemuan dewa Siwa (Hara) dengan dewa Wisnu (Hari). Maheshi beranggapan bahwa dengan anugerah itu maka Ia akan kekal abadi, baginya tidak mungkin dewa dengan dewa melahirkan anak. Maheshi menjadi angkuh dan kejam. Untuk dapat membunuh Maheshi itulah dewa Wisnu mengubah wujud-Nya menjadi Mohini, dan bertemu dengan dewa Siwa, lahirlah secara spiritual dewa Ayyappa yang dapat membinasakan Maheshi.