[caption id="attachment_218724" align="aligncenter" width="584" caption="Ilustrasi Dewa Ganesha, Tuhan Shiwa, Mahadewi, Dewa Kartikeya (Koleksi pribadi)"][/caption]
Om Namah Shiwa Ya
Dalam ajaran Hindu, dikatakan bahwa Tuhan itu Neti, Neti, Neti (bukan ini, bukan ini, bukan ini) dengan kata lain sesungguhnya Tuhan tidak dapat didefinisikan sehingga dikatakan Tuhan itu “bukan ini, bukan itu”. Karena dalam Brahmasutra dinyatakan bahwa Tuhan itu “Tad avyaktam, aha hi” (sesungguhnya Tuhan tidak terkatakan). Oleh karena Tuhan tidak dapat didefinisikan maka Tuhan dibatas-batasi. Tuhan diberi nama, Tuhan dilukiskan, Tuhan diuraikan kedalam kata-kata, dan lain sebagainya, berdasarkan petunjuk-Nya dan dari orang-orang arif bijaksana yang dituangkan kedalam kitab suci.
Brahman atau Tuhan hanyalah satu, esa, tidak ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaanNya, para resi dan orang-orang yang bijak menyebutnya dengan beragam nama. Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali diketahui wujud-Nya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal God) artinya tuhan tidak berpribadi dan Transenden.
Meski Brahman tidak terjangkau pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun jika Brahman menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mudah dilakukan. Brahman yang berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God), Tuhan yang berpribadi atau immanent.
Dalam mazab Siwaisme dikenal istilah Tri Purusa. “menurut Piagam Besakih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa (Tiga Manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta)”. Tri Purusa didalam Tattwa Jnana disebutkan “......yang disebut Siwa Tattwa ada tiga yaitu; Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Atmika Tattwa” (Tattwa Jnana,2). Dengan demikian pada dasarnya Siwa adalah satu namun keadaan dan sifatnya berbeda, yang secara Vertikal dipilah menjadi tiga bagian menyangkut keadaanNya yaitu: Paramasiwa (Trancendent) , Sadasiwa (Immanent), dan Atmika Tattwa atau Siwatma (Immanent).
Atmika Tattwa/Siwatma merupakan aspek Tuhan yang bersemayam didalam hati setiap mahkluk. Sadasiwa Tattwa merupakan aspek Tuhan berwujud (Saguna Brahman), sedangkan aspek Tuhan yang tak berwujud (Nirguna Brahman) adalah Paramasiwa Tattwa. Dalam mazab Waisnawa aspek Tuhan yang berwujud adalah Bhagavan, aspek Tuhan tak berwujud adalah Brahman dan aspek Tuhan yang bersemayam didalam hati setiap mahkluk adalah Paramatman.
Dalam Srimad Bhagavatam (1.2.21) dinyatakan bahwa "Kebenaran Mutlak diinsafi dalam tiga tahap pengertian oleh orang yang mengenal Kebenaran Mutlak, dan semuanya identik. Tahap-tahap Kebenaran Mutlak tersebut diungkapkan sebagai Brahman, Paramatma, dan Bhagavan". Tiga aspek rohani tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh Matahari, yang juga mempunyai tiga aspek yang berbeda, yaitu: sinar matahari, permukaan matahari dan planet matahari sendiri. Orang yang hanya mempelajari sinar matahari adalah murid dalam tahap mulai belajar. Orang yang mengerti tentang permukaan matahari adalah orang yang lebih maju. Orang yang dapat masuk ke planet matahari adalah murid yang tertinggi (AC Bhaktivedanta Svami Prabhupada, Penjelasan Bhagavadgita 2.2).
Dari sifat beliau yang Saguna Brahman (berwujud) maka beliau menjadikan diri-Nya berbagai wujud ilahi dalam bentuk dewa-dewi. Kata Deva berasal dari kata div, yang berarti “sinar’, sinar suci Tuhan/mahkluk cahaya atau dengan bahasa yang lebih mudah dapat disebut dengan istilah malaikat (?).
Masyarakat Hindu mengenal berbagai nama dewa-dewi. Didalam Veda ada banyak dewa yang disebut-sebut namun dikatakan ada 33 dewa. Para dewa memiliki tugas dan fungsi masing-masing. {“Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung, penuh kebijaksanaan, menganugerahkan karunia kepada mereka yang bersinar cemerlang, semoga para pencari pengetahuan spiritual, mengetahui rahasia 33 dewa.” Selanjutnya ke 33 dewa tersebut dibedakan menurut tempat dan tugasnya masing-masing seperti tertuang dalam Rgveda.I. 139.11 yang berbunyi: “Wahai para dewa (33 dewa): 11 di sorga, 11 di bumi, 11 berada di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini.” Dalam Satapatha Brahmana, XIV.5) disebutkan: “Sesungguhnya Ia mengatakan: adalah kekuatan yang agung dan dasyat sebanyak 33 dewa. Siapakah dewata itu? Mereka adalah delapan wasu, 11 Rudra, 12 aditya. Jumlah seluruhnya 31, (kemudian ditambah) Indra dan Prajapati, seluruhnya menjadi 33 dewata”.} (M. Anwar Firdausy “Konsep Ketuhanan Agama Hindu”).
Dari masing-masing tugas dan fungsi dewa-dewa di surga, di bumi dan di langit salah satunya adalah manifestasi Tuhan, dengan kata lain Tuhan sebagai pemimpinnya. Seperti disebutkan didalam Bhagavad Gita “Di antara semua Rudra Aku adalah Sankara (Siwa),..” (Bhagavad-gita 10.23), …di antara para vasu Aku adalah Api (Agni)” (Bhagavad-gita 10.23). Pada perkembangannya Agni disamakan dengan Brahma. “Di antara para Aditya Aku adalah Visnu..” (Bhagavad-gita 10.21).
Di Indonesia khususnya di Bali, nama-nama suci Tuhan dialihbahasakan kedalam bahasa lokal, terkadang menyebut Tuhan sebagai Sang Hyang Parama Kawi (pengarang teragung, maha pencipta), Sang Hyang Adi Bhuda (Yang Maha Bijaksana), Sang Hyang Guru (Guru dari para guru), Sanghyang Widhi (Yang Gaib), Dewa Ratu (Yang Berkuasa, Yang Kuasa), Jagad Dewa Bhatara (Tuhan pelindung alam semesta) dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat adakalanya seseorang hanya memuja para dewa, ada pula hanya memuja leluhur dan dewa, ada pula hanya memuja Tuhan. Banyak pula yang memuja kesemuanya. Apakah mereka salah jika hanya memuja salah satu atau memuja kesemuanya? tentu tidak karena masing-masing dari pandangan mereka memiliki dasar hukum yang kuat.
Memuja para dewa dibenarkan kitab suci Bhagavad Gita, juga dibenarkan didalam veda. Ada pandangan bahwa orang yang memuja dewa lebih mudah tercerahkan dan diberkahi, dengan dasar hukum bahwa dengan memuja dewa maka lebih mudah berkenan. Misalnya memuja Ganesha yang merupakan dewa penyembah Shiwa sekaligus mahaputra Tuhan maka Tuhan Shiwa akan berkenaan terhadap pemuja Ganesha. Bahkan hanya dengan memuja guru kerohanian (pemuja Tuhan), seseorang dapat mencapai alam atas/alam Tuhan (Brahma Loka).
Didalam Shiwa purana ada uraian bahwa dalam hari-hari terntentu sebaiknya memuja dewa-dewi lalu kemudian memuja Tuhan (Shiwa). Namun apabila tidak mampu memuja dewa-dewi dengan berbagai aneka ritual maka dikatakan cukup hanya memuja Tuhan. Dasar hukumnya bahwa dengan memuja Shiwa (Tuhan) maka semua dewa terberkahi dan disenangkan, dianalogikan seperti menyiram pohon, dengan menyiram akarnya maka semua cabang, ranting dan daun akan menikmati persembahan. Yang dianalogikan sebagai akar disini adalah Tuhan itu sendiri sebagai sebab segala sebab atau sumber segala sumber.
Lalu bagaimana prakteknya dalam masyarakat? Ketentuan-ketentuan kitab suci telah dijawantahkan kedalam tradisi. Di Bali khususnya, dalam hari-hari tertentu; khususnya hari-hari yang bertemu dengan Kaliwon/kaliwon dilaksanakan pemujaan terhadap dewa-dewi. Misalnya Anggara Kaliwon, Buda Kaliwon, Sabtu Kaliwon yang terjadi setiap 6 kali dalam 6 bulan (210 hari), berdasarkan perhitungan pawukon. Contoh Sabtu Kaliwon dikenal dengan tumpek. Setiap enam bulan ada 6 kali tumpek. Misalnya tumpek uye yang jatuh pada Sabtu Kaliwon Uye, dilaksanakan pemujaan terhadap dewa penguasa binatang dan hewan untuk memohon keselamatan binatang dan hewan-hewan. Dewa penguasa hewan diesebut rare angon yang merupakan perwujudan Shiwa sebagai pemelihara hewan “pengembala mahkluk”. Setahu saya di India disebut gopala. Dalam paham waisnawa Krisnha dikenal sebagai gopala, gopala artinya pengembala Sapi. Ada asumsi bahwa kata gembala ini berasal dari kata gopala.
Di samping hari Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan untuk senjata, Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang, selamatan untuk wayang dan Tumpek Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak Uye ini.
Om Shantih, Shantih, Shantih Om
I Ketut Mertamupu
www.kompasiana.com/mertamupu.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H